





Conclave tak sekadar film. Ada syiar tentang iman Katolik. Bersifat meneguhkan sekaligus menggoreskan perbedaan dengan iman agama lain.
Film Conclave yang rilis tahun 2024 berhasil meraih piala Oscar 2025 melalui Best Adapted Screenplay. Sebelumnya, film garapan sutradara Edward Berger itu masuk dalam 8 nominasi, di antaranya: Best Picture, Best Actor untuk Ralph Fiennes, Best Supporting Actress untuk Isabella Rossellini, dan Best Adapted Screenplay oleh Peter Straughan.
Seperti judulnya, film ini berkisah tentang proses pemilihan seorang Paus baru dalam Gereja Katolik Roma. Di awal film, langsung dikisahkan kematian Paus yang sekarang. Berdasarkan novel Robert Harris tahun 2016 dengan judul yang sama, konklaf dipimpin oleh sebagai Kardinal Thomas Lawrence (Ralph Fiennes). Dia dikisahkan sebagai Kardinal Dekan atau pemimpin persekutuan para kardinal yang disebut kollegium para kardinal (College of Cardinals).
Walaupun kisah yang diangkat fiktif, namun film ini membuka realitas manusiawi tentang pemilihan Paus. Sebuah proses yang sebagian besar umat Katolik pun tidak mengetahuinya. Walaupun Kuria Roma dan kollegium para kardinal dianggap sebagai kumpulan orang suci, namun mereka tak lepas dari intrik politik, kekuasaan, harta, sampai skandal seksualitas.
Uniknya, ragam intrik tersebut tidak membuat film ini menyudutkan Gereja Katolik. Pun saya juga tidak merasa malu atau takut jika akan ada tafsir liar terhadap aib di lingkaran kepausan. Menurut saya, gejolak dalam film berhasil diredam dan ditarik ke dalam refleksi mendalam yang disampaikan oleh Kardinal Thomas Lawrence. Hal ini akan saya bahas di bagian akhir tulisan.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (7): Kedatangan Paus Seperti Sedang Menerapkan Pancasila
Tokoh dalam Konklaf
Konflik yang terjadi selama konklaf diwakili oleh beberapa tokoh di dalam film. Selain Kardinal Thomas Lawrence, ada teman dekatnya yang bernama Kardinal Aldo Bellini (Stanley Tucci). Dia adalah seorang kardinal dari Amerika Serikat yang beraliran liberal.
Lawrence dan Bellini sepakat untuk melanjutkan arus kebijakan yang dilakukan oleh mendiang Paus. Kebetulan, keduanya adalah orang terdekat Paus. Di dalam konklaf, Bellini bukanlah satu-satunya yang berpeluang menjadi paus atau disebut papabile. Ada Kardinal Joseph Tremblay (John Lithgow) dan Kardinal Goffredo Tedesco (Sergio Castellitto) yang punya posisi sebaliknya, yaitu konservatif tradisionalis.

Ada terobosan yang ditawarkan dalam film ini ketika ada sosok kardinal dari Afrika yang punya peluang dipilih menjadi Paus. Sosok yang dimaksud adalah Kardinal Joshua Adeyemi (Lucian Msamati), seorang kardinal Nigeria dengan beraliran sosial konservatif.
Sekitar satu jam sebelum konklaf dimulai, Kardinal Lawrence mendapat kabar kalau ada seorang kardinal hadir tetapi tidak ada di dalam daftar kollegium para kardinal. Kardinal yang dimaksud adalah Kardinal Vincent Benitez (Carlos Diehz) asal Meksiko.
Dia diangkat menjadi Kardinal dan Uskup Agung Kabul (Afghanistan) secara rahasia oleh mendiang Paus, karena alasan keamanan. Setelah dokumen diperiksa, Kardinal Benitez diterima dalam kollegium dan masuk dalam proses konklaf.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (6): Memaknai Hijrah dalam Gereja Katolik!
Walau film tampil sangat maskulin, tetapi ada tokoh perempuan yang ambil peran sentral. Dia adalah Suster Agnes (Isabella Rossellini). Kehadirannya, bersama dengan rekan-rekan susternya, bukan hanya penghias layar kaca. Buktinya, Isabella Rossellini diganjar nominasi Oscar untuk Best Supporting Actress.
Peran para suster penting dalam menyukseskan konklaf karena memastikan kebutuhan makanan dan istirahat para kardinal yang diisolasi terpenuhi. Suster Agnes sendiri adalah kepala katering dan pengurus rumah tangga selama konklaf.
Intrik Kotor
Intrik para tokoh di atas memperlihatkan sisi manusiawi Vatikan yang di awal telah saya sebut. Paling mencolok adalah keributan yang terjadi antara Kardinal Joshua dengan Suster Shanumi, rekan Suster Agnes. Di situlah terungkap bahwa sejarah kelam Kardinal Joshua dengan Suster Shanumi. Mereka menjalin hubungan sampai mempunyai anak yang kini berusia 30 tahun.
Kardinal Joshua pada akhirnya tak layak dipilih menjadi paus atau un-papabile. Namun, munculnya Suster Shanumi secara tiba-tiba di Roma, khususnya terlibat dalam konklaf, menjadi tanda tanya besar. Sebagai orang yang bertanggungjawab penuh dalam konklaf, Kardinal Lawrence menggali informasi melalui Suster Agnes dan menerobos kamar mendiang Paus.
Akhirnya terungkap, ada andil Kardinal Tremblay mendatangkan Suster Shanumi ke Roma dengan tujuan khusus mengeliminasi Kardinal Joshua sebagai pesaingnya untuk menjadi Paus. Dari dokumen yang ditemukan di kamar mendiang Paus, terbukti bahwa Kardinal Tremblay juga terlibat skandal keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mencari dukungan saat konklaf.
Konflik semakin meruncing ketika terorisme menggunjang Roma. Bom merusak jendela kaca di Kapel Sistine, tempat para kardinal sedang mengadakan pemungutan suara. Momen ini dipakai Kardinal Tedesco untuk menyatakan pilihan politiknya. Dengan berapi-api dia menuding kaum liberal yang dipimpin mendiang Paus menjadi penyebab relativisme dan “Islamisasi” Eropa. Maka ia ingin membawa “Vatikan Kembali Berjaya” dengan berjuang melawan musuh Gereja.
Ia langsung ditentang Kardinal Benitez, yang menghabiskan pelayanannya di Kongo, Baghdad, dan Kabul. Daerah yang kenyang dengan konflik agama, suku, ras, dan kelompok. “Ketika Anda mengatakan kita harus berjuang, menurut Anda apa yang sedang kita perjuangkan?” Pertempuran yang sesungguhnya terletak di dalam diri kita masing-masing. Setelah saya menyaksikan jalannya konklaf dari pinggir lapangan, saya pikir ini adalah konklaf pertama dan terakhir saya. Selama di sini kita hanya peduli dengan diri kita sendiri, dengan Roma, dengan pemilihan ini, dengan kekuasaan. Ini bukanlah Gereja. Gereja adalah apa yang kita lakukan selanjutnya,” tegas Kardinal Benitez yang membuat kagum para kardinal sekaligus mengasapi Kardinal Tedesco.
Mendadak Kardinal Benitez menjadi pusat perhatian. Di awal memang dia sudah dapat suara, walau hanya satu. Tapi dirinya makin dikenal setelah meredupnya kandidat Paus lainnya. Bahkan, Kardinal Bellini yang mengusung misi mulia untuk tetap membawa Gereja yang terbuka, gagal meningkatkan suaranya karena berkutat pada politik internal dan dinamika yang kompleks. Hal serupa juga dialami Kardinal Lawrence yang sempat digadang maju sebagai kandidat Paus.
Plot Twist
Di sinilah plot twist muncul. Di luar dugaan, Kardinal Benitez yang bukan siapa-siapa di awal film berubah saat di akhir. Dia terpilih menjadi Paus dengan mengambil nama paus “Inosensius.” Mae Abdulbaki dan Colin McCormick sebagai pengamat film menuliskan tafsir penulis memilih Inosensius. Nama ini dipakai kali pertama oleh Paus Inosensius I yang naik Tahta Suci pada tahun 401.
Sejarah mencatat, Paus Inosensius I menjadi pemimpin Gereja yang tegas dalam menghadapi berbagai persoalan doktrinal dan disipliner. Ia juga meneguhkan otoritas Gereja Roma selama masa-masa penuh tantangan. Kardinal Benitez dengan tegas memilih “Inosensius” karena dia sendiri menyaksikan secara langsung bagaimana praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sepanjang konklaf. Nama “Inosensius” yang dalam bahasa Inggris “innocent” ditafsirkan sebagai sebuah nama yang menunjukkan kemurnian, tanpa prasangka apapun. Rasanya ini mencerminkan sosok Kardinal Benitez, yang kontras dengan kandidat Paus lainnya. Ia datang tanpa tujuan apapun, selain mengikuti proses konklaf.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (5): Apakah Baptis Bayi Melanggar HAM?
Saat penonton sudah merasa nyaman dan sepakat dengan terpilihnya Kardinal Benitez sebagai Paus, kembali film menunjukkan plot twist yang lebih menohok. Kardinal Lawrence mendapat informasi bahwa Paus terpilih ternyata menderita sindrom saluran Müllerian persisten. Sebuah kelainan seksual yang dialami pria. Dia secara fisik tampak normal sebagai pria, tetapi di dalam tubuhnya terdapat alat reproduksi perempuan, yakni rahim dan uterus.
Di hadapan Kardinal Lawrence, Kardinal Benitez menceritakan bahwa sejak awal mendiang paus sudah mengetahu kondisinya. Itulah mengapa dia tetap diangkat menjadi Uskup Agung dan Kardinal. Pada satu kesempatan, mendiang Paus menyarankan dirinya menjalani tindakan medis untuk mengangkat rahimnya. Namun, Kardinal Banitez tidak menjalankan saran tersebut.
“Bagi saya, mengubah hasil karya-Nya lebih merupakan dosa daripada membiarkan tubuh saya apa adanya. Saya adalah apa yang Tuhan ciptakan. Mungkin perbedaan sayalah yang akan membuat saya lebih berguna. Saya pikirkan lagi khotbah Anda. Saya tahu apa artinya berada di antara kepastian dunia,” kata Kardinal Benitez pada Kardinal Lawrence.
Syiar Iman
Bagi saya, selama 120 menit film Conclave bagian terpentingnya ada pada bagian khotbah Kardinal Lawrence saat membuka konklaf. Di saat itu, tema teologis disampaikan secara eksplisit dan tegas. Seolah-olah, sutradara ingin menyelipkan katekese dalam film ini.
Indikasi lain yang menunjukkan bagian ini penting adalah soal penempatannya. Khotbah muncul di sepertiga pertama film, waktu para penonton sudah benar masuk dalam suasana film. Energi penonton pun masih penuh untuk melahap semua isi film.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (4): Katolik Garis Lucu Vs Kasus Pelecehan Seksual dalam Teropong Inkarnasi
Berikut adalah isi khotbah Kardinal Lawrence:
“Selama bertahun-tahun dalam pelayanan kepada ibu kita Gereja, izinkan saya memberi tahu Anda, ada satu dosa yang paling saya takuti: kepastian. Kepastian adalah musuh besar persatuan. Kepastian adalah musuh bebuyutan toleransi. Bahkan Kristus tidak yakin pada akhirnya. ‘Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ seru-Nya dalam penderitaan-Nya pada jam kesembilan di kayu salib. Iman kita adalah sesuatu yang hidup justru karena berjalan beriringan dengan keraguan. Jika hanya ada kepastian dan tidak ada keraguan, tidak akan ada misteri, dan karena itu tidak diperlukan iman. Marilah kita berdoa agar Tuhan menganugerahkan kepada kita seorang paus yang ragu-ragu.”
Khotbah ini akan sangat mudah diartikan sebagai senjata untuk menghantam kaum konservatif yang diwakili oleh Kardinal Tedesco, Tremblay, bahkan Adeyemi. Kita juga mungkin tergoda untuk masuk ke dalam tafsir bahwa Gereja mulai ditarik ke dalam arus relativisme moral, teologi liberal, dan sejenisnya.
Namun, saya melihat hal lain. Pertama, Gereja bukan kumpulan orang kudus dan tak bercela. Rahmat Sakramen Baptis bukan tiket kesucian yang bisa ditukar dengan kavling surga. Gereja disebut kudus karena menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus, yang di dalamnya umat dipersatukan di dalam kekudusan Allah. Gereja adalah perkumpulan orang berdosa yang selalu ingin menjadi kudus sebagaimana Bapa di surga.
Kedua, kata kunci khotbah Kardinal Lawrence adalah iman. Membicarakan iman selalu sudut pandangannya adalah manusia. Iman adalah sebuah jawaban bebas, “Ya” dari manusia terhadap Allah yang mewahyukan Diri dan rencana-Nya kepada manusia. Di dalam wahyu, Allah menyapa manusia, memperkenalan diri-Nya kepada manusia dan mengajak manusia ikut serta dalam kehidupan Allah itu sendiri.
Ketika Allah mewahyukan diri-Nya, atau saat menyapa manusia, kita tetap berada pada posisi bebas. Terhadap wahyu itu, manusia bisa memilih, apakah mau menolak atau mengimaninya/ menerimanya. Di sinilah kita bisa mengerti bahwa iman itu bukan sesuatu yang pasti. Kalau iman sebuah kepastian, maka kita sejak awal tidak punya pilihan untuk menolak, sejak awal kita tidak punya kehendak bebas.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (3): Bagaimana Menyikapi Artis Mualaf?
Iman yang bersifat ragu-ragu atau tidak pasti mempunyai sifat dinamis. Artinya, manusia yang dilengkapi dengan akal budi memiliki cara yang selalu berbeda dalam menerima wahyu Allah. Jika, dulu wahyu Allah ditanggapin dengan liturgi satu bahasa di seluruh dunia, kini wahyu itu kita imani dalam bahasa dan budaya kita masing-masing.
Makna iman ini jelas tidak sama dengan relativisme yang dituding oleh Kardinal Tedesco. Secara singkat, relativisme adalah paham yang tak mengakui adanya kebenaran objektif atau universal. Paham ini menolak membunuh itu salah, karena setiap orang dengan budayanya bisa menghalalkan membunuh.
Kelemahan mendasar relativisme adalah paham tersebut mengajak kita memasuki alam ketidakpastian eksistensial diri dan anarki sosial, karena tidak ada lagi satu pijakan bersama yang mendasari makna hidup maupun relasi-relasi sosial politik masyarakat. Hal ini jelas sangat berbeda dengan iman, karena iman punya dasar yang obyektif yakni wahyu Allah yang diimani sebagai sebuah kebenaran obyektif.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (8): Agama Terbuka yang Menerima LGBT dan Tato
Selain itu, iman yang dinamis tidak bersifat serampangan dengan tunduk pada liberalisme dan individualisme. Karena iman berlandas pada wahyu yang obyektif, maka Gereja tegas menolak pernikahan sejenis atau menerima perempuan dalam klerus. Namun, Gereja Katolik sejak awal menerima LGBT sebagai sesama manusia. Mereka tetap dirangkul penuh kasih di dalam Gereja. “Jika ada seseorang gay sedang mencari Tuhan serta memiliki niat baik, siapalah saya berhak menghakiminya?” kata Paus Fransiskus dalam penerbangan kembali dari Brasil ke Vatikan, 29 Juli 2013.
Pesan Prapaskah Paus Fransiskus
Karena dasar iman kita adalah Tuhan Yesus, bukan hal duniawi, maka semua yang beriman Katolik selalu punya harapan. Hal tersebut tampak secara simbolis di akhir film. Saat konklaf selesai, Kardinal Lawrence membuka jendela kamarnya yang selama konklaf tertutup rapat. Perlahan dia bernapas, merasakan udara dan hangat matahari. Di lantai bawah dia melihat tiga orang suster keluar dari pintu. Mereka berjalan dengan riang sambil tertawa bahagia. Kardinal Lawrence melihat tingkah mereka dan tersenyum tipis.
Ekspresi Kardinal Lawrence memperlihatkan ada harapan untuk Gereja yang baru saja memiliki Paus. Seorang Paus yang memiliki kelainan seksual, menunjukkan ketidaksempurnaannya. Seorang Paus yang diyakini dipilih oleh Allah sendiri setelah melewati serangkaian drama berbumbu intrik kotor. Gereja ke depan tampak akan tampil dengan lebih egaliter, merangkul semua orang menuju keselamatan, tanpa memandang jenis kelamin atau gender mereka. Gereja yang dinamis berziarah di tengah dunia yang menawarkan banyak kepastian.
Gereja Katolik adalah persekutuan orang beriman, yang dengan caranya sendiri berusaha menanggapi wahyu Allah dalam koridor ajaran Gereja, menuju pada Keselamatan Abadi. Hal ini sejalan dengan pesan Prapaskah Paus Fransiskus, “Marilah Kita Berjalan Bersama dalam Pengharapan.” Pesan ini selaras dengan Tema Yubileum 2025 yakni “Peziarah Harapan.”
Pesan yang ditulisnya pada 6 Februari 2025, Paus Fransiskus mengajak kita berjalan bersama dalam pengharapan, karena kita telah diberi sebuah janji. Janji itu termaktup dalam Ensiklik Spe Salvi, “manusia membutuhkan kasih tanpa syarat. Ia membutuhkan kepastian yang membuatnya berkata: ‘baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita’ (Roma 8:38-39).”
Paus ingin kita semua menanggapi panggilan untuk berharap. Kita dipanggil untuk percaya kepada Allah dan janji-Nya yang besar tentang kehidupan kekal. Selamat merayakan Rabu Abu, selamat memasuki retret panjang menuju keselamatan yang telah Ia janjikan.
Foto: cloudfront.net


