Dosa Pemerintah yang Tersembunyi di Balik Kisruh Gas Melon

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Perubahan struktur distribusi liquefied petroleum gas atau LPG 3 kg berujung kisruh. Tetapi masalah utamanya gak dilihat banyak orang.

LPG 3 kg lekat dengan perut banyak orang. Tak heram membuat masyarakat marah. Saat itulah pemerintah berkelit dan berbagai argumentasi mengemuka. Sayangnya, masalah utamanya luput dari perhatian banyak orang.

LPG 3 kg yang popular disebut gas melon itu mulai ramai diberitakan media setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) melarang pengecer menjual gas bersubsidi tersebut per 1 Februari 2025. Masyarakat hanya bisa membeli gas melon pangkalan resmi, tak sampai ke warung kecil. Situasi tersebut membuat masyarakat panik. Alhasil gas melon tetiba langka. Masyarakat kesulitan mengakses gas, berujung antrian mengular karena tetap ingin ada asap mengebul di dapur. Di berbagai tempat situasinya tidak kondusif. Bahkan ada yang sampai meregang nyawa karena kelelahan.

Baca Juga: Menegaskan Peran Negara di Setiap Kecelakaan

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim gas melon tidak langka. “LPG 3 kg ini tidak ada kuota yang dibatasi. Impor kita sama. Bulan lalu dan bulan sekarang, atau 3 hingga 4 bulan lalu sama,” katanya sebagaimana diberitakan Tempo, Senin, 3 Februari 2025.

Bahlil berdalih apa yang ia lakukan untuk memperbaiki distribusi gas melon dan mengatur harganya agar tetap murah sampai ke tangan masyarakat. “Kalau harga di pangkalan bisa dikontrol, dikasih denda dan kita bisa tahu siapa pemainnya. Kalau di pengecer itu kan tidak ada, karena yang biasanya main ini kan di level di bawah,” ucapnya.

Isu gas melon berkembang luas, bahkan sampai menyenggol sosok Bahlil yang dituding tidak loyal pada Presiden Prabowo. Isu makin liar saat digiring menuju reshuffle kabinet. Narasumber media bertambang, ada Presiden, Wakil DPR Sufmi Dasco Ahmad, sampai Menteri Koordinator Bidang Pangan Indonesia Zulkifli Hasan. Sayangnya, mereka semua lupa, termasuk Bahlil, isu gas melon ini intinya adalah “Pemerintah ingin subsidi tepat sasaran.”

Baca Juga: Pesan Rabu Abu dan Hari Valentine untuk Pemilu 2024

Cita-cita mulia subsidi tersebut terpampang jelas di tabung gas melon, tertulis “Hanya untuk Masyarakat Miskin.” Bahkan tulisan itu pun juga ada di badan truk pembawa gas melon. Tujuan subsidi yang mengarah pada mereka yang membutuhkan harus menjadi satu-satunya motivasi dan argumentasi yang dilontarkan. Lagi-lagi hal ini luput, sehingga isunya merangkak melebihi garis batas.

Pernyataan Bahlil yang menyebut pembatasan distribusi gas melon supaya harganya lebih murah dihadapkan pada kenyataan stok gas yang langka. Padahal pemerintah tidak mengurangi pasokan. Artinya apa? Apa yang disampaikan Bahlil benar, karena pada akhirnya masyarakat tertentu mampu memborong gas dengan harga yang lebih murah. Tetapi, tujuan subsidi jelas tidak tercapai.

Siapa yang bisa memborong gas? Jelas bukan masyarakat yang berhak atas gas bertulis “Hanya untuk Masyarakat Miskin.” Di saat yang bersamaan, masyarakat miskin tidak punya uang dan akses untuk membeli gas yang ternyata stoknya udah diborong mereka yang mampu. Maka, wajarlah masyarakat panik, rela antri bahkan sampai mempertaruhkan nyawa, dan berujung pada kemarahan jamak. “Kita membaca banyak berita. Katanya ada yang begitu (meninggal), ada berita juga yang tidak sesuai dengan itu. Ya, kami pemerintah pertama memohon maaf kalau ini terjadi, karena ini sama-sama kita lakukan untuk penataan,” hanya itu yang Bahlil bisa sampaikan sebagai pemerintah, di Jakarta, Selasa, 4 Februari 2025.

Baca Juga: Belajar Menjadi Ayah dari SBY dan Jokowi

Satu Data Indonesia

Kisruh gas melon di awal tahun 2025 dan di 100 hari pemerintahan Prabowo – Gibran, senyatanya bukan sekadar soal penataan ulang distribusi, memerangi oknum nakal, atau mengusahakan subsidi tepat sararan. Ada masalah utama di balik itu semua yang bisa dibilang menjadi dosa besar pemerintah.

Pemerintah itu siapa? Yang disebut Pemerintah di Indonesia adalah mereka yang berada di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selain itu, pemerintah juga terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. Apakah bisa dibilang secara ringkas, pemerintah adalah mereka yang hidup dari uang pajak rakyat? 

Keputusan Bahlil melarang pengecer menjual gas bersubsidi adalah sebuah keputusan politik. Penataan distrubisi gas melon supaya lebih tepat sasaran, adalah juga kebijakan politik. Pertanyaannya, apa dasar dari pemerintah dalam menetapkan keputusan? Harusnya, sebuah keputusan berdasarkan data yang menjadi bahan pertimbangan sebelum lahir sebuah keputusan. Bagaimana peran data di Indonesia? Pernah ada niat baik dari pemerintah, saat Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (Perpres SDI) pada 12 Juni 2019. Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antara instansi pusat dan instansi daerah.

Baca Juga: Implikasi Fifsafat dalam Pernyataan Jokowi Soal Kampanye

Hampir 6 tahun sejak Perpres SDI ditetapkan. Harapannya, data yang saling terintegrasi dari pusat hingga ke daerah menjadi kunci strategis ketika pemerintah hendak merumuskan dan menetapkan sebuah kebijakan. Apalagi setiap kebijakan selalu menyentuh hidup orang banyak. Kebijakan yang salah taruhannya bisa nyawa. Apakah cukup pemerintah minta maaf ketika ada yang meninggal karena lelah antri gas?

Sayangnya, SDI yang diharapkan banyak orang belum juga kelar. Ada beberapa hambatan yang ditemukan untuk mewujudkan SDI. Peneliti Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan (PR EMK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bahtiar Rifai, mengungkapkan hasil studinya mengenai SDI. Menurutnya, Kementerian PPN/Bappenas masih membutuhkan keahlian lebih lanjut dalam data dan sistem, termasuk arsitektur data, administrasi, dan integrasi data. Serta kolaborasi lebih lanjut dengan pemerintah daerah untuk mengatasi tantangan di tingkat sub-nasional.

“Banyak responden mengakui bahwa pegawai negeri sering tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi implementasi dan integrasi SDI secara efektif, dengan beberapa pelatihan berpotensi menciptakan lebih banyak masalah dalam implementasi data terintegrasi. Pejabat SDI perlu mempromosikan pemanfaatan SDI dan menekankan perlunya perhatian berkelanjutan terhadap pelatihan teknis dan keterampilan dalam implementasi SDI,” katanya pada laman BRIN, Sabtu, 14 Desember 2024.

Baca Juga: Meraba Hubungan Megawati dan GenZ

Sementara itu, Direktur Eksekutif Sekretariat SDI Tingkat Pusat Kementerian PPN/Bappenas, Dini Magfirra mengutarakan, pemerintah sedang memadankan dan mengintegrasikan data sesuai regulasi, terutama untuk kebutuhan data sosial ekonomi seperti bansos. “SDI menata ulang arsitektur data sebelum membangun aplikasi baru atau melakukan pendataan, bertujuan mencegah duplikasi aplikasi, menghindari pengumpulan data berulang, serta memastikan interoperabilitas data antar Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE),” jelasnya.

Intinya, SDI belum siap. Data yang harusnya menjadi rujukan pertama dan utama dalam tiap kebijakan masih mentah. Yang menarik, segala hambatan teknis di atas dilengkapi dengan hambatan non teknis. SDM Pemerintah sendiri yang diakui secara internal kurang greget. Mungkin bisa dibilang sebagian SDM pemerintah ogah-ogahan untuk serius menggarap SDI.

Hal tersebut terungkap dalam laporan Rencana Aksi Satu Data Indonesia 2022-2024 yang diterbitkan Kementerian PPN/Bappenas dan Satu Data Indonesia. Dari sekian banyak hambatan non teknis, disebutkan di antaranya “Tidak adanya budaya kesadaran akan data (Data Awareness Culture) di setiap aparatur dan organisasi pemerintah bahkan di masyarakat; Kurangnya kesadaran dan inisiatif dari tingkat pimpinan (Data Awareness Leadership) yang mendorong kesadaran akan data yang berkualitas.”

Baca Juga: Ancaman Oligarki Korupsi di Tahun Politik

Masyarakat, kita semua, juga punya tanggung jawab terwujudnya SDI. Tetapi pemerintah punya mandat untuk menyelesaikan SDI. Supaya, pemerintah tidak sembarangan membuat kebijakan. Ingat, tiap kebijakan taruhannya hidup rakyat. Apakah kebijakan yang diambil akan memberikan berkat atau dosa bagi pengambil kebijakan dan rakyat? Jika SDI belum siap, lalu berdasarkan apa Bahlil menetapkan pelarangan pengecer menjual gas bersubsidi tersebut per 1 Februari 2025? Padahal kalau bicara data, pemerintah tampak paling pinter. Tiap mau jadi pejabat selalu adu data dalam kampanye, debat atau fit and proper test. Lagi-lagi, data mana yang mereka ungkap itu? Tapi, bisa saja pejabat yang sama, menggunakan “data” untuk mengancam pengeritiknya, “Kamu jangan asal ngomong, mana datanya? Kalau tidak tarik ucapanmu, saya akan tuntut kamu secara hukum!”

Artikel ini juga muat di Kompasiana

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply