Beberapa minggu ini, umat Katolik yang aktif di media sosial terbilang gaduh. Lantaran admin Instagram Katolik Garis Lucu (KGL) memposting konten yang dianggap menghina Yesus. Umat terpolarisasi, satu sisi pro dengan admin KGL, sisi lain menganggap apa yang ditampilkan merupakan penistaan. Di sisi lain, terungkap kasus pelecehan anak-anak misdinar oleh pengurus Gereja. Bagaimana kita sebagai anggota Tubuh bersikap?
Kegaduhan di laman KGL membuat saya kaget! Baru kali ini saya stalking terhadap ratusan komentar yang ada di KGL. Bahkan saya juga masuk ke akun-akun yang saya anggap komentarnya “menarik.” Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 01.15 dini hari. Namun rasa penasaran tak membuat mata lelah.
Saat itu saya pun mengangguk-angguk dan mengakui bahwa selama ini main saya kurang jauh. Saya terlalu nyaman dengan satu pandangan dengan komunitas yang senada. Dan ternyata, KGL membuka mata saya bahwa ada banyak pandangan walau di dalam satu tubuh.
Sejenak saya menelaah dan mencoba memahami. Hari demi hari, saya bawa dalam refleksi. Akhirnya saya berpikir, baik hal ini menjadi bahan permenungan pribadi yang saya arahkan dalam tema teologis “Inkarnasi.” Satu tema penting dalam agama Katolik, dan menjadi alasan mengapa saya bangga menjadi Katolik.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (1): Tanda Salib
Polarisasi Gereja
Salah satu candaan adalah orang yang mirip dengan Yesus sedang main TikTok. Sesaat orang itu “berubah” menjadi lebih mirip Yesus melalui pemilihan busana dan tata rambut. Kontan saya dan beberapa orang tertawa, karena lucu.
Tak menyangka, candaan ini dan beberapa yang lain menuai komentar yang jujur di luar perkiraan saya. Beberapa di antaranya saya kutipkan, “Hello, saya tahu anda berpikiran positif bahwa ini bisa jadi media pengenalan mengenai Yesus Kristus kepada banyak orang. Tapi humor dan bukan humor apalagi ini berkaitan dengan iman dan dosa, merupakan area yg masih abu-abu dalam hukum dan Dogma Gereja. Area abu-abu dari mereka juga yg belum mengenal tapi ingin berekspresi. Dengan begitu adanya kiriman yg sedikit ‘berlebih’ ini bisa ‘membebaskan’ mereka yg tadinya tidak menghina dan menistakan menjadi mencoba-coba untuk berbuat lebih buruk. Dampak positif harus juga memandang dampak negatif dan resiko yg dapat terjadi. Sudahkah anda memikirkan resiko buruk yg dapat terjadi di tengah tengah umat? Terimakasih.”
Orang lain menambah, “Bukan masa sumbu pendek..bercanda bisa yang lain tapi ketika Tuhan saya dihina bukan nama ya bercandaan. Mungkin anda yang berfikir terlalu luas hingga otak anda rasanya ingin menjejel keluar sehingga penistaan yang seperti itu bagi anda lucu. Tugas saya untuk mengingatkan anda,semoga Tuhan memberkati.”
Yang lain menulis, “Saya sama sekali tidak mempermasalahkan KGLnya. Tetapi karena candaan tentang Yesus sudah sangat lumrah di era sekarang ini.”
Hal senada juga tampak dari komentar, “Oh ya pantesan umat Roma disini gak peduli dengan Kejatuhan Byzantine dan malah berlomba lomba ngucapin selamat idul Fitri. apaan sih, kan Paulus bilang untuk kita Gereja agar gak menjadi serupa dengan dunia. Artinya, Gereja gak bisa mengalami modernisasi mentah seperti ini. Bisa dibaca pada Roma 12:2 dimana Paulus menyarankan agar Gereja (ekklesia) tidak terpengaruh untuk menjadi serupa dengan dunia. Nah loh, masih bangga nih jadi modernis disini?”
“Altar seharusnya digunakan untuk mempersembahkan misa, ini malah digunakan untuk memuja kepercayaan lain…. Apakah para suster melakukan dosa Sakrilegi? Ya. Karena telah menggunakan altar dengan tidak sebagaimana mestinya, apalagi mengumandangkan kemenangan agama lain dihadapan Kristus yang hadir dalam Sakramen Mahakudus. Menjaga kesakralan kapel perlu sesuai dengan Sensus Sacrum. Kita disini hanyalah membela kebenaran, di berbagai tempat, maka itu hormat kami. ~All Admin,” tulis salah satu akun media sosial yang mengomentari 3 suster yang menyanyikan lagu lebaran.
Yang pro dengan admin KGL turut memberikan opininya. Tak ayal, umat yang aktif di media sosial terbelah. Bahkan memunculkan istilah bahwa yang pro dianggap sebagai penista agama dan mereka yang kontra disebut sebagai Kadrun Cabang Vatikan atau Dombrun alias Domba Gurun.
Kontan saya tersenyum. Hanya 2 detik. Setelah itu diam. Tertunduk. Sedih menyelimuti nubari, mengapa pedang yang terhunus itu membelah tubuh yang sama. Satu sama lain saling melontarkan argumen. Sesekali menyerang pribadi, dan yang pasti sama-sama merasa diri paling benar. Lupa bahwa yang mereka bela adalah Mahabenar!
Sadar tidak sadar, argumen sebagai buah pikiran mereka adalah hasil dari letupan emosi. Rasa tidak terima bahwa Tuhannya dicandain adalah awal dari pembelaan rasional. Emang manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling unik. Proses berpikir manusia mempunyai keterkaitan dengan keadaan emosinya. Pikiran dan emosi adalah dua pontensi yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Albert Ellis, pakar dalam teori ‘Rational-Emotive Therapy’ (RET), mengemukakan bahwa pikiran, emosi-perasaan, dan juga perilaku manusia saling berhubungan satu dengan yang lainnya. “Ketika seseorang beremosi, ia juga berpikir dan bertindak; ketika seseorang bertindak, ia juga berpikir dan beremosi; dan ketika seseorang berpikir, ia juga beremosi dan bertindak” (Ellis, 1974: 313).
Baik yang pro maupun yang kontra, rasanya semua diletupkan oleh emosi. Oleh karena itu saya, sebagaimana mengajak diri sendiri, untuk pelan-pelan meredakan emosi dan mencoba menelaah hal ini secara rasional.
Tuhan Jadi Manusia Merupakan Skandal?
Salah satu fenomena yang hanya terjadi di dalam Gereja Katolik adalah inkarnasi (di dalam daging), yakni Tuhan yang menjadi manusia di dalam diri Yesus.
Inkarnasi adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali di sepanjang sejarah dan hanya dialami oleh Yesus saja. Tidak ada lagi peristiwa inkarnasi dan tidak ada manusia yang juga adalah Tuhan, sebelum dan sesudah Yesus. Inilah yang membuat saya bangga menjadi Katolik.
Agama lain mengenal istilah yang mirip, yakni “reinkarnasi” yang artinya berbeda sama sekali dengan inkarnasi. Inkarnasi adalah konsep Kristologi yang sama misterinya dengan konsep Tritunggal dan misteri lain dalam iman kita. Harap maklum ya, wong kita yang terbatas masak mau memahami secara penuh yang Mahakuasa.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal Yang Bikin Repot!
Dalam iman kita meyakini bahwa Yesus Kristus adalah 100 persen manusia. Sama dengan kita kecuali dalam hal dosa. Namun, selama menjadi manusia, Yesus tidak pernah kehilangan statusnya sebagai Tuhan. Dan Ia pun melakukan ini dengan kehendakNya sendiri, tanpa ada keterpaksaan. “Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku,” (Yohanes 10:18).
Cara mudah untuk memahami misteri ini adalah cerita raja bijaksana yang menyamar menjadi rakyat biasa. Umumnya kita pernah dengar dongeng seperti ini, entah dari membaca, diceritakan orang tua/ guru, nonton atau lainnya. Saat menjadi rakyat biasa, raja tidak pernah kehilangan statusnya sebagai raja. Dan ia pun melakukan ini dengan kehendaknya sendiri, untuk merasakan secara langsung apa yang dihidupi rakyatnya dari hari ke hari.
Tujuan dari Inkarnasi adalah mengangkat martabat manusia, membopong kita dari jurang maut menuju keselamatan, dan menunjukkan jalan yang harus kita lalui selama hidup di dunia. Satu-satunya alasan mengapa Tuhan mengijinkan terjadinya inkarnasi adalah rasa cintaNya yang begitu besar pada kita, ciptaanNya. “Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rom 5:8).
Satu lagi hal penting yang perlu kita terus sadari adalah, inkarnasi menjadi bukti bahwa Tuhan yang kita imani bukan hanya “tukang perintah” tetapi juga memberikan teladan. Tuhan gak cuman ngomong, “Hei manusia, loe harus saling mengasihi! Loe jangan begini atau begitu!” Tuhan jadi manusia dan menunjukkan bagaimana itu mengasihi dan bagaimana caranya bisa mencapai kesempurnaan serta keselamatan.
Dengan menjadi teladan, pilihan inkarnasi menjadi sesuatu yang berat untuk dijalani. Sekalipun itu oleh Tuhan sendiri. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39).
Namun pada akhirnya, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaanNya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran,” (Yoh 1:14).
Kalau saya katakan inkarnasi adalah pilihan berat, lalu apakah ada pilihan lain yang lebih ringan? Tentu, ada!
Tuhan tidak harus turun ke dunia untuk memberikan “kisi-kisi” bagaimana supaya kita mencapai surga. Tuhan bisa saja memberitahu bagaimana caranya supaya kita selamat dengan “perintah-perintah” atau “seperangkat hukum” yang disampaikan melalui nabi atau secara tertulis dalam Kitab Suci. Tuhan bisa saja memberitahunya dengan cara “menakut-nakuti, ancaman, atau kekerasan.” Namun dalam iman kita, Tuhan tidak memilih “cara mudah itu.”
Tuhan secara jelas, tegas, dan dengan kesadaran penuh berlandaskan cinta memilih jalan yang berat, yakni inkarnasi. Stefanus Tay dalam Katolisitas menuliskan, “Hakekat Tuhan yang Mahabaik, Mahabenar, Mahakasih, dan Mahabijaksana membuat Tuhan untuk memilih jalan yang paling sempurna dalam menyatakan sifat-sifatNya. Dan Inkarnasilah yang menjadi pilihan Tuhan. Kita tidak dapat membuktikan secara persis alasannya, karena ini adalah misteri Tuhan yang tidak terselami, namun kita dapat menggunakan ‘argument of fittingness’ untuk melihat bahwa memang semuanya itu sudah selayaknya terjadi dan membuat kita terkesima akan keajaiban Tuhan.”
Bagi sebagian orang, khususnya pada zaman Gereja Perdana, inkarnasi dianggap sebagai skandal. Tidak mungkinlah Tuhan yang menyandang status “Maha” menjadi manusia. Mereka yang tidak sepakat dengan inkarnasi, menganggap iman kita sebagai sebuah skandal. Namun, inilah misteri Allah yang tak terselami, “Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah menyatakan diriNya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diriNya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan,” (1 Tim 3:14-16)
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (3): Bagaimana Menyikapi Artis Mualaf?
Misteri Inkarnasi dalam KGL
Inkarnasi membuktikan arti penting melihat konteks dalam berpikir. Yesus memilih lahir di lingkungan Yahudi maka apa yang diajarkan dan diwariskannya kepada kita semua tidak lepas dari konteks Yahudi. Pemilihan Roti dan Anggur sebagai sarana Ekaristi tidaklah asing bagi budaya dan agama Yahudi. Hari Raya pun tidak jauh dari akarnya yakni Yahudi, lihatlah Paskah Kristen yang mau tidak mau punya pengaruh dari Paskah Yahudi.
Pertanyaan saya, kalau inkarnasi itu terjadi di Jawa bagaimana? Dalam refleksi saya meyakini sarana Ekaristi bukanlah roti dan anggur tetapi mungkin saja teh dan pisang goreng. Kalau Yesus lahir dari Indonesia Timur? Bisa jadi dalam misa kita menyantap jagung dan kopi.
Bagaimana dengan gaya pewartaan atau pengajaran? Saya pun meyakini bahwa hal ini tidak lepas dari konteks. Menanggapi polemik KGL, ada yang berpendapat bahwa Katolik itu cuman satu, gak ada garis itu dan garis ini. Pendapat lain bilang, tidak pernah juga didapati dalam Kitab Suci bahwa Yesus mengajarkan dengan canda-candaan atau lucu-lucuan. Yang ada Yesus dan para rasul memberikan pengajaran dengan perumpaan. Titik.
Terhadap hal ini saya katakan, betul! Tapi ingat, jangan lepaskan konteks. Bisa jadi, konteksnya ya cara mengajar kala itu emang seperti itu. Umat atau masyarakat di sana, di waktu itu, ya bisa mengerti dengan gaya mengajar seperti itu. Tapi dalam iman, kan kita tidak menerima bagaimana caranya tetapi esensi apa yang ingin disampaikan. Kita menerima Tuhan yang adalah kasih, mengajarkan kasih, dan menyuruh kita berbuat kasih. Apapun pun cara yang dipilih dengan berlandasakan kasih, bertujuan untuk menyampaikan kasih. Kan kita tidak memilih cara lewat perang atau penaklukkan untuk menyampaikan kasih?
Inkarnasi juga mengajarkan kita memahami konteks. Pernah membayangkan Yesus tertawa? Kalau berpijak pada pewartaan awal/ zaman dulu pasti kita tidak pernah membayangkan. Mungkin juga takut, walau hanya sekadar membayangkan Yesus keliatan gigiNya, karena tidak ada di dalam Kitab Suci. Tapi apakah Yesus yang adalah 100% manusia tidak pernah tertawa sepanjang hidup???
Dalam perkembangan waktu dan perubahan zaman, pemahaman akan iman turut berkembang. Jika dulu memakai dunia pertanian dan peternakan sebagai sarana pewartaan, maka bisa jadi kalau Yesus lahir sekarang Ia akan pakai teknologi untuk mewartakan Kabar Gembira. Yesus gak segan memakai Instagram atau juga ber-TikTok ria.
Apakah Yesus mengajarkan TikTok, tidak! Tetapi TikTok jadi sarana untuk masuk ke dunia kita. Setelah diterima, baru Ia memasukkan esensi ajaranNya yaitu kasih.
Kalian pernah punya pengalaman berdiskusi dengan orang tua atau orang yang (jauh) lebih tua dari kita? Ada kalanya mereka mengkritik bagaimana cara kita mengambil keputusan atau bagaimana melakukan sesuatu. Nah apa yang kalian rasakan saat mereka bilang, “Gak gitu, salah itu. Dulu caranya begini…” Apa yang ada di benak kalian saat dengar kata “dulu”? Ada berapa di antara kalian yang memilih untuk angkat pantat saat kata sakti itu diucapkan?
Cara bisa berbeda dalam tiap zamannya, walau tujuan yang ingin dicapai sama. Begitu juga dengan pewartaan. Caranya akan selalu berbeda tetapi yang ingin disampaikan tetap sama. Kok bisa begitu? Karena Roh Kudus bekerja sepanjang masa untuk mewastikan bahwa cara yang dipilih berlandaskan pada kasih untuk menyampaikan ajaran yang sama dari zaman ke zaman yakni soal kasih. Kita bisa membedakan, mana yang lucu-lucuan yang berlandaskan kasih, mana yang punya niatan dari awal mau mengejek atau menghina. Benar gak?
Ada contoh lain yang cukup menghebohkan, bahkan beritanya dimuat juga oleh Detikcom. Pada tahun 2018 Haifa Museum of Art di Israel mengadakan pameran seni bertajuk “Sacred Good,” bertemakan agama dan keyakinan dalam budaya konsumerisme. Salah satu artis yang ikut di pameran tersebut bernama Jani Leinonen. Jani berasal dari Finlandia dan juga pemeluk Kristen. Ia membuat sebuah karya seni yang diberi judul “McJesus”.
Karya tersebut berupa sebuah salib dengan boneka Ronald McDonald, maskot waralaba McDonald sebagai pengganti Yesus. Sontak, kalangan minoritas Kristen Arab di Israel marah. Mereka menuntut karya seni itu dicopot dari pameran. Tak sampai situ, demonstran ada yang membawa poster bertuliskan ‘hormati agama’ dan melemparkan bom molotov yang melukai polisi.
Lihat bagaimana mereka yang bermaksud membela agama dan Tuhan malah memilih jalan kekerasan. Kalau melihat konteks bahwa pameran ini adalah pameran seni yang coba mengangkat agama dalam konteks budaya konsumerisme. Oleh karena itu karya “McJesus” menunjukkan bagaimana maskot Ronald McDonald “telah menjadi simbol budaya populer, telah mencapai level penyembahan religious.”
Kasus Pelecehan Jadi Nanah dalam Tubuh Gereja
Bagian ini saya tambahkan setelah artikel tayang 1 hari. Kenapa? Karena kasus pelecehan seksual di dalam Gereja adalah bentuk paling nyata dari penistaan agama, penghinaan Yesus, dan melukai anggota Tubuh yang lain. Yesus Sang Kepala akan sedih dan merasa sakit karena anggota tubuhNya ada yang berkoreng.
Diberitakan KompasCom, adalah SPM (42), seorang pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok, Jawa Barat, telah ditangkap polisi Minggu (14/6/2020) atas dugaan pencabulan sejumlah anak misdinar sejak awal tahun 2000-an. Namun tindakannya baru tercium 14 tahun kemudian, yakni pada Maret 2020.
“Dia suka pangku-pangku, suka peluk-peluk. Ini cerita dari teman-teman. Akhirnya mereka mencoba mendalami apa yang mereka lihat, melalui orangtua para misdinar dan teman-teman alumni misdinar,” kata Azas Tigor Nainggolan, pendamping hukum para korban.
Kasus pelecehan seksual di ranah manapun umumnya fenomena gunung es. Apa yang terungkap hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan jumlah kasus sebenarnya. Hal seperti ini juga berlaku di kalangan Gereja. Sebagaimana diungkap Majalah Warta Minggu dan ditulis dalam Katoliknews.com pada 2019.
Dalam reportase tersebut Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI, RD Joseph Kristanto mengatakan, walaupun dia tidak memiliki data pasti tentang jumlah korban pelecehan seksual di Gereja Katolik di Indonesia, timnya telah menerima laporan dari informan yang merinci setidaknya 56 korban.
Dari jumlah itu, ada 21 korban dari kalangan seminaris dan frater, 20 orang suster dan 15 korban nonreligius. Pelakunya adalah 33 imam dan 23 pelaku bukan imam. Ternyata banyak juga kejadian di tempat-tempat pendidikan calon imam. Kristanto sendiri meyakini bahwa ini adalah fenomena gunung es. “Hitung saja, di Indonesia ada 37 keuskupan, kalau masing-masing keuskupan lima atau sepuluh kasus, silahkan hitung sendiri. Itu baru di keuskupan. Belum di sekolah-sekolah atau panti-panti asuhan,” katanya.
Saya hanya mengungkap kasus di Gereja Indonesia dan yang terungkap publik dalam rentang waktu belum lama. Ketika membaca bagian kasus pelecehan seksual ini, apakah hati Anda ada perubahan sikap hati dibanding saat membaca di bagian lucu-lucuannya ala KGL? Ngerasa sebanding gak “kasus penistaan agama dan penginaan Yesus” di kasus KGL dan pelecehan seksual anak?
Lucu-lucuan yang dituding menista agama apakah merugikan orang lain secara material, fisik, psikis? Paling banter kan yang dituduh menista berdosa sendirian di hadapan Tuhan. Coba bandingkan dengan kasus korupsi yang merugikan banyak orang secara material dan bagi anggota Tubuh ngerasa tersakiti gak ketika diumumkan ke publik yang melakukan misalnya “Antonius” atau “Yohanes” atau “Markus” atau deretan nama babtis lain? Belum lagi kasus pelecehan seksual, terlebih pada anak-anak, kebayang siapa yang dirugikan dan dampak perbuatan si oknum?
Saya tidak mau kalau Tubuh Gereja ini mengalami seperti kelompok sebelah. Jangan sampai, kasus penistaan (yang tidak dilandaskan pada rasa benci) didemo berjilid-jilid tetapi memilih diam saat pemimpin agamanya melakukan korupsi, bahkan membela mati-matian pemimpin agamanya yang secara jelas dalam hukum telah melakukan kekerasan terhadap anak-anak. Jangan sampai kita mengecam tangan dan kaki yang banyak gerak karena dianggap mengganggu/ berisik, tapi mendiamkan bagian tubuh lain yang bernanah. Jangan pula kita sibuk menyumpal lidah yang mencoba berkesenian lantaran dianggap terlalu lancang, tetapi memaklumi lutut yang berkoreng dirubung lalat.
Kita semua sepakat dengan ungkapan, walau kita berbeda-beda tetapi tetap Satu Tubuh, yang mana Sang Sulung menjadi Kepala (bdk. 1Kor 12:12-14). Nyatanya memang kita tak sama satu sama lain. Karena kita satu tubuh, maka perbuatan kita akan memberikan konsekuensi pada anggota tubuh lainnya. Maka mari kita saling menghormati satu sama lain.
Kuncinya adalah kasih, berbuat berlandaskan kasih, dan menilai juga dalam atmosfer kasih.
Konsep Gereja adalah Satu Tubuh yang mana Yesus sebagai Kepala hanya bisa terjadi berkat inkarnasi yang menjadi kehendak Allah dan dilakukan berlandas kasih. Maka Tubuh yang satu itu lahir, tumbuh, berkembang, berbuah, dan terikat satu sama lain walau berbeda karena kasih. Maka mari kita hormati satu sama lain, jangan caper dan baper. Berpikir dulu sebelum bertindak/ berucap/ beragumen/ karena akan mempengaruhi anggota tubuh lainnya, terlebih akan membuat Sang Kepala bersedih.
*) Bangga Menjadi Katolik adalah tulisan berseri yang mengungkapkan sharing pribadi saya, atas keprihatinan banyak OMK yang tidak mengenal agamanya. Kalau tidak kenal bagaimana mau bangga dan memberikan kesaksian. Bagi saya, mau mengenal Katolisitas adalah bentuk hijrah yang paling nyata, sederhana, mudah, dan memberikan dampak signifikan.
Bahan Bacaan: Katolisitas.org, Kompas.com, Katoliknews.com, dan Diktat Kuliah Fakultas Teologi Wedhabakti
by
Mantep mas.
Saya jg membaca statement Romo yg bilang tidak ada katolik bergaris, katolik hanya satu. Dan saya berpikir apakah Romo itu kurang piknik?