Bangga Menjadi Katolik (8): Agama Terbuka yang Menerima LGBT dan Tato

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Isu LBGT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) tak pernah usai. Apalagi jika dihadapkan pada norma agama dan budaya di kalangan Timur. Bagaimana Gereja menyikapi hal tersebut?

Pertama-tama, ada baiknya memahami dulu pengertian LGBT. Lesbian, Gay, dan Bisexualilty (LGB) adalah orientasi seksual seseorang. Sedangkan Transgender (T) terkait dengan identitas diri yang tidak sesuai dengan kelamin seseorang ketika dilahirkan.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (7): Kedatangan Paus Seperti Sedang Menerapkan Pancasila

Lesbian dan gay adalah orientasi seksual yang mempresentasikan ketertarikan dengan sesama jenis. Jika lesbian adalah seorang perempuan menyukai perempuan, maka gay adalah menyukai sesama pria. Biseksual merupakan orientasi seksual yang mana seseorang punya ketertarikan terhadap dua jenis gender atau lebih.  Sedangkan transgender bisa disebut transpuan jika lahir sebagai laki-laki lalu mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, dan transpria yang terlahir sebagai perempuan dan mengidentifikasi dirinya sebagai pria.

Indonesia terkenal dengan negara yang sangat beragam. Banyak negara lain kagum dengan kita karena punya Pancasila yang menyatukan banyak suku, agama, dan bahasa. Namun, kita masih punya stigma negatif terhadap mereka yang LGBT. Bahkan, kepada mereka yang bertato kita sudah memicingkan mata atau membatin. Data menunjukkan, sepanjang tahun 2006-2018, Arus Pelangi mencatat ada setidaknya 45 regulasi Anti LGBT di Indonesia dan ada sebanyak 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (6): Memaknai Hijrah dalam Gereja Katolik!

LGBT memandang Indonesia bukan sebagai tempat yang ramah karena masih kental dengan budaya Timur, juga kuat dalam beragama. Namun masalahnya, mereka yang LGBT adalah manusia. Derajatnya sama dengan mereka yang “normal” karena hadir dari Sang Pecipta. Jika orientasinya berbeda, tetapi pandanglah mereka sebagai manusia bukan malah membenci, menghukum, menyingkirkan, bahkan melakukan kekerasan fisik. 

Gereja Katolik sudah sejak awal menerima LGBT sebagai sesama manusia. Di sisi lain, Gereja tetap menolak adanya pernikahan sejenis. “Jika ada seseorang gay sedang mencari Tuhan serta memiliki niat baik, siapalah saya berhak menghakiminya?” kata Paus Fransiskus dalam penerbangan kembali dari Brasil ke Vatikan, 29 Juli 2013.

Foto Instagram

Pernyataannya Paus ini menjadi jawaban dari wartawan yang bertanya apakah ada “kelompok gay” di Vatikan. Pada kesempatan tersebut, Paus menegaskan kembali posisi Gereja Katolik Roma bahwa tindakan homoseksual adalah dosa, tetapi orientasi homoseksual tidak.

Di tahun yang sama, Gereja Katolik Indonesia juga menyuarakan hal serupa. Uskup Agung Semarang saat itu, Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta, dengan tegas mengatakan sikap pastoral Gereja Katolik terhadap kaum minoritas LGBT ini jelas. Sekalipun tidak semua umat Katolik merasa nyaman dengan keberadaan mereka.

“(Kita) tetap memanusiakan mereka, mencintai mereka, menghormati mereka. (Kita) memberi peluang kepada mereka – orang-orang yang dipandang aneh – supaya bisa bersosialisasi dengan orang lain. Memang agak kerepotan dengan kelainan yang ada di diri mereka sendiri,” katanya pada 16 Desember 2013.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (4): Katolik Garis Lucu Vs Kasus Pelecehan Seksual dalam Teropong Inkarnasi

Dalam sebuah Seminar Keluarga dan LGBT yang diselenggarakan Keuskupan Agung Jakarta, terungkap bahwa Gereja menerima LGBT terkait gambaran Allah dalam ajaran Gereja Katolik sebagai Allah Maharahim. Dia bukan penghukum. “Seperti Gereja yang menerima setiap manusia, demikian pula kita sebagai umat, wajib menerima setiap orang,” kata Irene Sheila Harjanto dalam seminar yang berlangsung pada Sabtu, 7 Desember 2019.

Menurut Sheila, jika kaum LGBT memiliki kekurangan atau keterbatasan, terima mereka sebagai seorang manusia, bukan justru dihakimi. Toh, lanjutnya, di dunia ini tak ada manusia yang sempurna. “Jika ada teman, saudara, keluarga yang terindikasi LGBT, seharusnya dirangkul dan dituntun. Bukan mencampakkan, mengucilkan, bahkan menghukum mereka,” ungkap pendamping Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI) itu.

Pada kesempatan tersebut, Sheila juga mendorong para peserta seminar untuk meneladani keutamaan Yesus. “Yesus datang ke dunia untuk orang-orang sakit dan berdosa. Semasa hidup-Nya, Yesus bergaul akrab dengan para pelacur, pemungut cukai, penderita kusta, dan sebagainya. Semua orang berdosa, bahkan sering terikat oleh dosa. Apakah hidup kita lebih baik dari mereka yang LGBT?,” tanyanya retoris.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (3): Bagaimana Menyikapi Artis Mualaf?

Gereja Katolik melihat manusia sebagai pribadi karena Allah sejak awal mula menciptakan manusia segambar dengan diri-Nya. Semua orang memiliki martabat yang melekat dan berhak mendapatkan cinta dan rasa hormat karena mereka diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27).

Untuk itu, Gereja Katolik memberi dukungan pada LGBT dengan membentuk dan membina mereka dalam komunitas-komunitas. Di sanalah Gereja hadir memberikan pelayanan, pelatihan sebagai bekal mereka mandiri, dan bersama mereka mengajak semua orang untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Martabat manusia adalah kasta yang tertinggi dan tidak tergantung dengan dosa, gender, warna kulit dan lain-lain.

Ada pengalaman menarik yang diceritakan RD Yustinus Ardianto. Dalam sebuah misa di Paroki Kelapa Gading, romo yang bertugas di Wisma Samadi itu mengaku pernah didatangi beberapa waria. Mereka ingin belajar agama Katolik. Awalnya dia kaget, tapi tetap dilayani. Selama pelajaran, mereka tidak hanya menerima ilmu tetapi juga makan.

Lebih kurang 1 tahun, mereka menerima pembaptisan. Tak lama berselang, datang lagi waria dalam jumlah yang lebih banyak. Tujuan mereka juga sama. Ternyata, kelompok waria pertama mungkin menceritakan pengalaman imannya bertemu Tuhan dalam Gereja Katolik. Alhasil, ada waria lain yang tertarik menuju keselamatan di jalan Tuhan Yesus.

Jangan Takut Bertato

Pada 18 Desember 2023, Dikasteri untuk Doktrin Iman (DDI) mengeluarkan Deklarasi “Fiducia Supplicans” yang disetujui oleh Paus Fransiskus. Dokumen ini membahas mengenai makna pastoral dari pemberkatan.  

Dari dokumen inilah, Gereja Katolik dengan tegas menyatakan sikapnya membela sisi manusia mereka yang LGBT. “Tidak seorang pun akan tersinggung jika saya memberikan berkat saya kepada seorang pengusaha yang mungkin mengeksploitasi orang, dan ini adalah dosa yang sangat berat. Tetapi mereka akan tersinggung jika saya memberikannya kepada seorang homoseksual,” kata Fransiskus kepada majalah Katolik Italia Credere.

“Ini adalah kemunafikan,” lanjutnya sebagaimana dikutip Credere sehari sebelum publikasi “Fiducia Supplicans.”

Di lain pihak, dokumen itu juga menegaskan doktrin tradisional Gereja tentang pernikahan. Pernikahan hanya terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Jadi, makna “pemberkatan” dalam dokumen ini sebenarnya adalah “doa” atau “mendoakan”. Gereja Katolik tidak memiliki kuasa untuk “menyetujui pernikahan sesama jenis” melalui pemberkatan dan doa.

Selain LGBT, kelompok yang termajinalkan adalah mereka yang punya tato dan percing. Ras Inggi adalah musisi reggae asal Kebumen Jateng yang adalah penganut Katolik. Badannya penuh tato dan kupingnya berpersing. Dia sangat bangga diterima dalam Gereja Katolik walaupun tidak sedikit orang Katolik yang meragukan keimannya hanya karena bertato.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal yang Bikin Repot!

Pada tahun 2018, Paus Fransiskus menegaskan gereja tidak perlu “takut” terhadap tato yang dimiliki banyak anak muda. Dia pun mengajak para pastor menggunakan tato sebagai sarana berkomunikasi dengan anak muda. Karena tato sering kali menyampaikan sesuatu yang penting tentang kepribadian

“Jangan takut dengan tato,” kata Paus Fransiskus saat membuka pertemuan selama seminggu sebagai persiapan Sinode Uskup pada 19 Maret 2018 di Vatikan. Menurut Paus, selama berabad-abad orang Kristen Eritrea dan orang lain telah membuat tato salib.

Perkataan Paus itu merupakan jawaban untuk seorang seminaris dari Ukraina yang bertanya tentang tato. Yulian Vendzilovych, seminaris itu, bertanya bagaimana seorang pastor muda dapat menilai bagian mana dari budaya modern yang baik dan mana yang tidak. Ia menggunakan contoh tato, yang menurut banyak orang muda “mengekspresikan keindahan sejati,” katanya.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (1): Tanda Salib

Di hadapan sekitar 300 orang muda, Paus mengungkapkan bahwa Gereja Katolik membutuhkan antusiasme, keberanian, dan harapan kaum muda agar dapat mewartakan Injil dengan penuh semangat. Tato yang banyak menjadi bagian dari hidup anak muda jangan menjadi penghalang pewartaan kabar gembira. “Kita perlu menemukan kembali kekuatan dalam Tuhan untuk bangkit setelah kegagalan, untuk terus maju, untuk memperkuat harapan bagi masa depan,” kata Paus.

Namun, ternyata pandangan Paus soal tato tidak berlaku bagi para pekerja Vatikan. Aturan baru bagi karyawan Basilika Santo Petrus yang dikeluarkan pada tanggal 29 Juni 2024 menetapkan bahwa para pekerja tidak boleh memiliki tato atau tindik. 

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply