Paus Fransiskus datang ke Indonesia, Selasa, 3 September 2024. Peristiwa ini sekilas biasa, seperti kedatangan pemimpin negara lain. Tapi, mengapa penyambutannya begitu meriah?
Ada dua status Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu. Selain sebagai pemimpin umat Katolik sedunia, Paus juga menjadi Kepala Negara Vatikan. Jika kita menilik dua status ini, saya pikir tidak ada pemimpin dunia manapun yang disambut meriah saat datang ke Indonesia.
Pemimpin dunia yang saya maksud adalah kepala negara, pemimpin agama, pemimpin sebuah lembaga atau institusi baik pemerintah maupun swasta. Rasanya tidak ada penyambutan yang semeriah Paus Fransiskus. Gaung menjelang kedatangannya sudah terdengar santer. Saat kedatangannya pun ditayangkan secara langsung oleh beberapa televisi nasional.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (6): Memaknai Hijrah dalam Gereja Katolik!
Kalau melihat dari sisi pemimpin agama, Paus Fransiskus juga memiliki aura sendiri. Lagi-lagi tidak ada pemimpin agama dari luar negeri yang disambut meriah di Indonesia. Antusiasme umat Katolik Indonesia begitu terasa. Akan ada sekitar 90.000 umat yang akan merayakan Misa di Gelora Bung Karno.
Mereka datang untuk beribadah, bukan untuk yang lain. Kita bisa melihat umat lain beribadah dengan jumlah yang besar. Namun itu biasanya ibadah untuk merayakan Hari Raya besar. Atau juga ibadahnya menjadi bagian dari aksi penyampaian pendapat.
Kedatangan Paus Gereja Katolik ke-266 yang seperti itu membuat saya berpikir, “Apa yang membuat kedatangan pemimpin 1,3 miliar penganut Katolik dunia itu menyedot banyak perhatian?”
Jawaban pertamanya, adalah berkat “kekakuan” liturgi Katolik! Katolik kerap mendapat kritik, termasuk dari internal, bahwa liturginya begitu kaku. Banyak umat mengeluh saat Misa bosan dan mengantuk. Kalau di Katolik semua diatur, banyak batasan-batasan, dan seterusnya.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (5): Apakah Baptis Bayi Melanggar HAM?
Namun, “kekakuan” itulah yang membuat kita tetap bersatu menjadi sebuah organisasi yang solid sampai detik ini. “Kekakuan” itu juga yang membuat kita nyaman saat merayakan Ekaristi di tanah asing, yang bahasanya kita tidak mengerti. Dan tentu “kekakuan” yang sama menjadi pendorong bagi kita semua antusias menyambut Paus Fransiskus yang terpilih pada 13 Maret 2013.
Dengan sengaja saya memberi tanda petik pada kata kekakuan. Karena senyatanya Gereja Katolik tidak sekaku yang banyak orang pikir. Kalau kita mau sedikit saja berpikir obyektif, Katolik adalah satu-satunya agama yang sangat terbuka, toleran, dan progresif. Agama mana di Indonesia yang bisa memberikan dispensasi menikah beda agama? Agama mana yang secara terbuka menerima kaum LGBT walau tidak mengizinkan pernikahan sejenis? Agama mana juga yang secara terbuka menyatakan mereka yang tidak mengakui Tuhan bisa masuk surga?
Jika kita melihat ke dalam, Gereja Katolik juga terbuka pada banyak devosi. Kita memang sangat ketat soal liturgi dan dogma. Tetapi di sisi lain kita menerima begitu banyak devosi yang kebanyakan lahir dari gerakan umat. Sebagai contoh, doa rosario sebagai devosi kepada Maria, ragam novena, penghormatan kepada Santo dan Santa, Persekutuan Doa Kharismatik, bahkan untuk penganut Kejawen pun ada tempat di Gereja Katolik. Apakah ada agama lain yang seperti ini?
Dalam refleksi saya bisa menyebut bahwa Gereja Katolik adalah tempat paling konkret Pancasila tumbuh.
Pancasila di sini diartikan sebagai prinsip tunggal yang menyatukan berbagai perbedaan yang ada di dalamnya. Prinsip tunggalnya adalah Tuhan Yesus. Dari Tuhan Yesus inilah mengalir Liturgi Ekaristi yang menjadi warisan-Nya. Berkat Cinta-Nya yang tak terbatas, dari Liturgi mengalirlah berbagai devosi, kelompok doa, dan komunitas yang semuanya beraktivitas atas dasar Tuhan Yesus dan kembali kepada Dia sebagai sumber kekuatan. Walaupun berbeda-beda namun tetap satu berlandaskan pada Tuhan Yesus dan menyebarkan Cinta Kasih.
“Pancasila” yang dihidupi secara internal dalam Gereja Katolik ternyata punya wajah yang paling menantang dalam hidup bernegara di Republik Indonesia. Pancasila besutan Bung Karno ini berhasil menyatukan 283 juta lebih penduduk Indonesia yang tersebar lebih dari 17.000 pulau. Pancasila juga menyatukan 6 agama dan aliran kepercayaan dan sekitar 93 bahasa daerah. Tampak sekali bagaimana Pancasila Indonesia jauh lebih sakti dibandingkan dengan “Pancasila” yang menyatukan internal Gereja Katolik.
Itulah mengapa, salah satu tujuan Paus Fransiskus ke Indonesia adalah ingin belajar bagaimana caranya Pancasila mampu mengelola keberagaman di Tanah Air. Selain itu, Paus juga ingin mengucapkan banyak terima kasih ke Pemerintah Indonesia karena telah melindungi dan memberikan kebebasan beragama bagi umat Katolik Indonesia.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (4): Katolik Garis Lucu Vs Kasus Pelecehan Seksual dalam Teropong Inkarnasi
“Apresiasi kepada Pemerintah Indonesia bahwa umat Katolik yang sedikit mendapat kebebasan beribadah. Juga ingin belajar bagaimana negara sangat beragam ini (bisa bersatu). Salah satu tujuan Paus ke Indonesia,” kata Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci (Vatikan) Michael Trias Kuncahyono di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Sebagai informasi, data dari Kementerian Dalam Negeri pada Juni 2024, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam mencapai 245,93 juta jiwa (87,08%) dari total populasi; beragama Kristen 29.579.316 jiwa (10,47%: 7,40% Protestan dan 3,06% Katolik); Hindu 4.744.543 jiwa (1,68%); Buddha 2.004.352 jiwa (0,71%); Khonghucu 76.636 (0,03%), Kepercayaan: 98.822 (0,03%).
Jawab Kritik Tritunggal
Jawaban pertama sudah dijabarkan bagaimana “kekakuan” liturgi Katolik yang dikritik justru menjadi kunci antusiasnya Indonesia menyambut Paus, bukan hanya umat Katolik saja. Ada jawaban keduanya yang juga tak luput dari banyak kritik, yakni Teologi Tritunggal.
Terkait teologi ini bisa dibaca di artikel yang berjudul “Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal yang Bikin Repot!”
Sederhananya begini, antusiasme kita menyambut kedatangan Paus Fransiskus merupakan bentuk konkret penghayatan teologi Allah Bapa. Yesus kerap menyebut Tuhan sebagai Bapa ingin menunjukkan kepada umatnya bahwa ada jalinan kasih dua arah. Yakni, bagaimana Tuhan begitu mencintai umat-Nya dan sebaliknya diharapkan umatnya mencintai Tuhan layaknya hubungan bapak dan anaknya.
Umat Katolik Indonesia seperti anak-anak yang sudah lama tidak dikunjungi bapaknya. Saat bapak yang dirindukan datang maka meluaplah sukacita tersebut. “Seperti anak mengharapkan kehadiran seorang bapak, demikian umat Katolik di Indonesia mengharapkan kehadiran pimpinannya,” ujar Kardinal Ignatius Suharyo yang juga Uskup Agung Jakarta saat konferensi pers Kunjungan Paus Fransiskus di Kantor KWI, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Agustus 2024.
Teologi Tritunggal bukanlah teologi awang-awang yang menjadi santapan harian para teolog. Juga bukan teologi yang bisa menjadi olokan banyak pihak karena diplesetkan sebagai penyembang banyak tuhan.
Lewat kesederhanaan mantan Uskup Agung Buenos Aires, Argentina itu, kita bisa menghayati secara konkret relasi Tuhan kepada umat-Nya. Tuhan ingin diperlakukan sebagai ayah yang dirindukan anaknya, dekat dengan anaknya, dan mencintai dengan tulus.
Relasi Tuhan dan umat yang begitu dekat itu tampak dari kehadiran Paus ke Indonesia. Paus menggunakan fasilitas yang dipakai kebanyakan orang misalnya, naik pesawat komersial, mobil penjumput adalah kendaraan yang dipakai banyak orang Indonesia, dia duduk di depan bersama sopir, tidak tidur di hotel, dan berpesan bahwa mobil dan kursi yang akan dipakai saat misa dibuat sederhana. Dan kita sebagai anak sudah dan akan menyerukan “Viva il Papa! Viva Papa Francesco” kepada Paus yang kita hayati sebagai bapak kita.
Apa yang dilakukan oleh Paus ini mengarah pada himbauan bahwa untuk menjadi suci itu tidak harus melalui jalan ekstrem. Jalan menuju Tuhan itu sesederhana kita menyebut Tuhan sebagai Bapa, caranya seperti yang ia tawarkan dalam “Lima Jalan Menuju Kekudusan” menurut “Gaudete Et Exsultate.” Yakni Seruan Apostolik Paus Fransiskus Mengenai Kekudusan Dalam Dunia Modern.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (3): Bagaimana Menyikapi Artis Mualaf?
Satu prinsip yang harus kita pegang, untuk menjadi kudus adalah menjadi diri sendiri. Tidak perlu meniru orang lain. Thomas Merton, biarawan Trappist Amerika, berkata, “Bagi saya menjadi orang suci berarti menjadi diri saya sendiri.”
Dalam Gaudete Et Exsultate, Paus berkata, “Kita sering tergoda untuk berpikir bahwa kekudusan hanya untuk mereka yang dapat menarik diri dari urusan sehari-hari untuk meluangkan banyak waktu dalam doa, itu tidak benar. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menjalani hidup kita dengan kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam segala hal yang kita lakukan, di mana pun kita berada.”
Paus Fransiskus lalu mencontohkan bagaimana menjadi kudus dalam hidup sehari-hari. Misalnya, menjadi orang tua yang membesarkan anaknya dengan penuh kasih. Lalu contoh lainnya, berani untuk tidak tidak meneruskan gosip yang kita terima, baik itu secara langsung maupun melalui media sosial.
Sebagai informasi kunjungan Paus kali merupakan kali ketiga. Seorang Paus pertama kali mengunjungi Indonesia ketika St. Paulus VI berkunjung pada 3-4 Desember 1970. Setelah itu, 19 tahun kemudian, St. Yohanes Paulus II berkunjung ke Indonesia pada 9-14 Oktober 1989. Kunjungan Paus Fransiskus ini terjadi setelah penantian selama 35 tahun.
Foto: Vatican Media
by