Indonesia adalah negara dengan pendudukan Muslim terbesar di dunia. Hal ini membuat banyak orang sangat akrab dengan istilah hijrah. termasuk kita yang beragama Katolik. Apakah istilah ini juga ada dalam Gereja Katolik?
Secara terminologis, hijrah punya arti meninggalkan sesuatu atas dasar untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh sebagian orang, hijrah ini dimaknai secara fisik. Misalnya, orang yang memutuskan berhijrah tampak dari perubahan cara berpakaian dan tampilan fisiknya.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (1): Tanda Salib
Hal berbeda juga tampak dari cara beragamanya. Misalnya, seseorang yang memutuskan berhijrah akan memperdalam ilmu tauhidnya. Setelah beberapa waktu, mereka bisa saja dipercaya untuk berdakwah selayaknya tokoh agama.
Dalam batasan terminologis, hijrah juga ada dalam Gereja Katolik. Istilah yang umum kita pakai adalah bertobat. Bertobat artinya berubah, yakni bergerak meninggalkan cara hidup lama yang penuh dosa menuju hidup baru sebagai pengikut Yesus Kristus.
Saat orang Katolik bertobat maka dia akan diundang untuk mengikuti jalan Tuhan Yesus menuju Bapa. Jalan-Nya adalah mencintai Tuhan, sesama dan seluruh ciptaan-Nya. Sebagai murid kita diminta menjadi seperti Allah Bapa, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di Surga adalah sempurna” (Mat 5:48).
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal Yang Bikin Repot!
Paus Yohanes Paulus II dalam Reconciliatio et Paenitentia (1984) menulis, “Buah utama dari sakramen tobat adalah rekonsiliasi dengan Allah, dengan Gereja, dengan sesama, dengan dirinya sendiri, dan dengan seluruh ciptaan.” Bertobat itu memperbaiki hubungan secara vertikal sekaligus horizontal.
Panggilan untuk hidup kudus seperti Bapa di surga berlaku untuk semua murid Yesus. Ini adalah konsekuensi saat kita menerima Sakramen Baptis, Sakramen Krisma dan Ekaristi. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan bahwa Baptis, Krisma, dan Ekaristi menjadi dasar panggilan murid Kristus untuk hidup kudus dan mewartakan Injil, hingga akhir hidup.
“Pembaptisan, Penguatan, dan Ekaristi adalah Sakramen-sakramen inisiasi Kristen. Mereka meletakkan dasar untuk panggilan bersama semua murid Kristus, yakni panggilan kepada kekudusan dan tugas untuk membawakan kabar gembira kepada dunia. Mereka memberi rahmat yang dibutuhkan, supaya hidup sesuai dengan Roh Kudus dalam hidup ini, dalam penziarahan menuju tanah air abadi” (KGK #1533).
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (3): Bagaimana Menyikapi Artis Mualaf?
Semua murid Yesus mempunyai tugas yang sama, yakni menghadirkan buah-buah surgawi seperti suka cita, keselamatan, dan keadilan di tengah dunia. Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II “membagi” Gereja menjadi “tiga kelompok,” yakni kaum klerus, kaum religius dan kaum awam. Sengaja diberi tanda petik karena statusnya sama sebagai murid Yesus, tetapi punya tanggung jawab berbeda.
Kaum klerus adalah mereka yang menerima tahbisan suci, yakni diakon, pastor, dan uskup. Yang disebut kaum religius adalah mereka yang mengabdikan diri seutuhnya kepada Kerajaan Allah, seperti para suster, bruder, dan frater kekal. Sedangkan kaum awam dideskripsikan sebagai “semua orang beriman Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius” (LG, 31). Umumnya, kaum awam menjalankan panggilannya dalam hidup berkeluarga.
Minggu Panggilan
Pada Minggu ini, 21 April 2024, Gereja merayakan Hari Panggilan. “Hari ini merupakan kesempatan yang baik untuk bersyukur kepada Tuhan atas kesetiaan, ketekunan, dan hidup yang seringkali tersembunyi dari semua orang yang telah menanggapi panggilan Tuhan dengan seluruh hidup mereka,” kata Paus Fransiskus dalam suratnya di Hari Minggu Panggilan Ke-61.
Secara jelas, Paus menyapa semua dari “tiga kelompok” dalam Gereja Katolik. Ini adalah hari yang tepat untuk membangun kembali komitmen untuk setia sebagai klerus, religius, atau awam. Masing-masing punya tanggung jawab berbeda, namun punya tugas yang sama. Mereka dipanggil untuk menjadi kudus dan mengkuduskan dunia dengan cara mereka masing-masing.
Kepada kaum klerus, Paus berpesan untuk selalu setia dalam membaktikan diri bagi pewartaan Injil, untuk memecah-mecahkan hidupnya bersama Roti Ekaristi bagi pelayanan para saudara-saudari, dan untuk menabur harapan serta menunjukkan keindahan Kerajaan Allah kepada semua orang.
Kepada kaum religius, Paus berharap mereka setia melayani setiap orang yang mereka jumpai. Baik itu kaum religius yang fokus dalam berkarya atau mereka yang hidupnya dipenuhi oleh doa dan bertapa. Sebagai informasi, ada kaum religius yang berkarya dalam dunia pendidikan, kesehatan, atau hal lainnya. Namun juga ada yang hidupnya dihabiskan dalam hening untuk berdoa, berpuasa, dan bertapa. Mereka disebut dengan eremit.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (4): Katolik Garis Lucu Vs Kasus Pelecehan Seksual Dalam Teropong Inkarnasi
“Disamping tarekat-tarekat hidup bakti, Gereja mengakui hidup eremit atau anakoret, dengannya kaum beriman kristiani dengan menarik diri lebih ketat dari dunia, dalam keheningan kesunyian, dalam doa dan tobat terus-menerus, mempersembahkan hidupnya demi pujian kepada Allah serta keselamatan dunia” (Kan. 603 §1).
Paus juga menyinggung kaum awam. Paus mengucap syukur kepada awam Katolik yang tidak ikut tren sesaat dan memilih untuk membangun kehidupan keluarga mereka dengan penuh cinta dan ketulusan, serta melayani anak-anak dan pertumbuhan mereka. “Saya memikirkan semua orang yang melakukan pekerjaannya dengan penuh dedikasi dan semangat kerja sama. Saya memikirkan juga mereka yang berkomitmen, dalam berbagai bidang dan cara, membangun dunia yang lebih adil, mengupayakan perekonomian yang dijiwai prinsip solidaritas, kehidupan politik yang lebih beretika dan adil, serta masyarakat yang lebih manusiawi. Saya memikirkan semua pria dan wanita yang berkehendak baik dengan kesungguhan dan totalitas mengusahakan kebaikan bersama,” paparnya.
Setia Pada Panggilan yang Dipilih
Dalam “Hari Panggilan” ini kita diingatkan kembali pada panggilan hidup kita masing-masing. Kita semua sama-sama sedang berziarah menuju Allah. Dalam peziarahan itu kita dipanggil untuk mengasihi Tuhan dan saling mengasihi. Tujuan ziarah ini adalah menuju dunia baru yang penuh kasih, damai, dan keadilan. Artinya, hadirnya kita harus memberikan pengharapan, memberi kehidupan, memberi persatuan, bukan sebaliknya.
Dalam peziarahan itu, kerap kita melakukan kesalahan atau dosa. Sebagai murid kita diajak untuk bertobat, yakni kembali menuju jalan Tuhan dan terlibat aktif menjalankan panggilan kita. Sebagai klerus dan religius setialah, tidak perlu terjun terlalu dalam dalam urusan sekular. Sebagai awam juga setialah menjadi garam dan terang dunia, tidak perlu terlalu dalam masuk ke urusan liturgis. Jangan sampai anak kita telat makan karena sibuk dengan banyak urusan di gereja.
Konsep panggilan hidup dalam Gereja Katolik ini bagi saya sangat logis. Walau ada peran yang berbeda, namun klerus, religius dan awam punya status sama sebagai murid Yesus. Semua punya kesempatan yang sama untuk menjadi kudus dan masuk surga dengan cara hidup mereka masing-masing. Yang klerus dan religius fokus berdoa dan melayani. Mereka tidak usah mengurus hal-hal duniawi, misalnya memperkaya diri, mengejar materi, dan lainnya. Sedangkan awam juga tidak perlu menghabiskan waktunya untuk berdoa, tetapi fokus bekerja dengan baik, jujur, adil, dan mengurus keluarga masing-masing dengan setia.
Konsep hijrah dalam Gereja Katolik adalah kembali ke jalan Yesus yang menuju Bapa. Kenapa kembali, karena kita sudah melenceng setelah berbuat dosa. Kata “kembali” itu penting, supaya jangan dari antara kita yang ingin bertobat justru malah berjalan masuk ke hidup kelompok lain. Misalnya, yang awam mau hijrah malah “over dosis” karena masuk ke ranah klerus. Contoh saja misalnya memakai kalung salib yang besar, waktu berdoa lebih banyak daripada waktu kerja atau mengurus keluarga, dst. Yang klerus juga bisa “over dosis” karena menjadi lebih giat bekerja mencari dana ketimbang berdoa atau justru mengoleksi barang duniawi seperti kendaraan atau jam tangan.
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (5): Apakah Baptis Bayi Melanggar HAM?
Panggilan hidup di Gereja Katolik juga lengkap dan jelas. Kita tinggal memilih dan setia menjalankannya. Mau jadi klerus atau pemimpin agama, silahkan. Mau bergabung dalam lembaga hidup bakti dengan menjadi suster atau bruder, silahkan. Mau jadi awam dengan menikah atau tidak menikah, juga silahkan. Kalau mau hidup menyendiri, menjauh dari dunia, harinya diisi berdoa-bertapa-berpuasa, berpakaian tertutup, hidup dengan mengikuti cara hidup seperti yang tertulis dalam Kitab Suci juga silahkan karena Gereja mengakui gaya hidup eremit seperti ini.
Apa pun panggilan hidup yang dipilih, tugas yang Tuhan berikan kepada kita sama, yakni menjadi kudus sebagaimana Allah Bapa dengan menjalankan pilihan hidup kita secara setia dan konsisten. Ganjarannya pun sama, “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” (Yohanes 14:2-3).
Foto: catholicreview.org
by