Bangga Menjadi Katolik (3): Bagaimana Menyikapi Artis Mualaf?

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Masyarakat Indonesia pada umumnya masih terikat dengan identitas. Agama adalah salah satu identitas yang memiliki daya tarik emosional yang sangat tinggi. Berita seorang artis (baca: public figure yang bergerak di bidang seni) pindah agama bisa gempar.

Saat seseorang itu meninggal, terjadilah tarik menarik identitas dari pemeluk agama lama dan yang baru.

Jujur saya sendiri merasakannya. Ada rasa sedih, kecewa, mungkin marah, dan juga sepertinya hanya sedikit porsi untuk mengerti. Banyak sedikit yang saya cecap, juga ada di dalam coretan teman-teman group WA, Facebook, sampai Instagram.

Saya menilai “rasa” ini harus disikapi dan diarahkan pada nalar supaya ada kepastian sikap. “Rasa” tidak boleh dibiarkan ngambang, bak minyak di atas air maka “rasa” akan mudah terbakar saat ada yang bermain-main api.

Bangga Pada Kekristenan

Saya tetap bangga pada Katolik walaupun musisi yang dikafani memiliki nama babtis. Iman saya juga tidak luntur sedikitpun saat tahu bahwa penyair Indonesia itu ternyata dulunya adalah Katolik. Walau diselimuti rasa sedih dan kecewa, tapi ada secercah harapan akan kekristenan di dalam berita wafatnya pelaku seni budaya.

Kok bisa??? Karena kekristenan, khususnya Katolik, semakin ditegaskan sebagai agama yang menerima seni budaya. Bahkan seni budaya yang termanifestasi dalam tradisi diterima sebagai sarana pewahyuan Allah. Ingat, wahyu atau penyingkapan diri Allah pada manusia itu diyakini dalam iman Katolik terjadi melalui Tradisi dan Kitab Suci.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (1): Tanda Salib

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal Yang Bikin Repot!

Seni budaya telah menjadi bagian dalam sejarah kekristenan. Goresan sejarah menunjukkan seni Kristen muncul tak lama kekristenan lahir dan berkembang. Seni patung tertua tampak dari sarkofagus atau makam orang Kristen. Sedangkan seni lukis banyak muncul di makam dalam Katakombe Roma. Banyak di antaranya adalah simbol-simbol kekristenan seperti gambar ikan yang menjadi simbol orang Kristen.

Sebuah fresko Ekaristi, Katakomba Callixtus (Foto: Wikipedia)

Katakomba Kristen atau makam bawah tanah, setidaknya dari abad kedua sampai keempat, sangat berpengaruh pada sejarah seni rupa Gereja Perdana. Mulai dari seni dalam bentuk fresko dan pahatan, sampai medali-medali kaca emas. Fresko adalah teknik melukis pada dinding dengan menimpakan pigmen pada plaster dinding yang baru dilapisi. Kemudian definisi ini sedikit berubah karena Leonardo da Vinci memperkenalkan teknik baru dengan menimpakan pigmen warna kepada lapisan yang telah kering dengan sedikit modifikasi.

Pada perkembangannya, gereja sebagai sebuah gedung tempat ibadah menjadi pusat seni. Secara kasat mata kita dengan mudah menemukan bagaimana gereja dipenuhi oleh karya seni mulai dari arsitektur, lukis, interior, dan seni rupa yang diaplikasikan pada banyak media seperti kayu, batu, kaca, serta berbagai logam.

Saya pernah dengar cerita sewaktu masih kuliah di Jogja. Ada pelukis Jogja yang sangat terkenal, mencuat saat zaman reformasi. Dia adalah pemeluk Kejawen. Sedangkan isterinya Katolik. Dia mengaku sangat senang mengantar isterinya ke gereja. Dia pun betah saat berada di dalam gereja. Karena menurut dia, gereja sangat indah dan sangat menghargai kesenian.

Lebih dari itu, gereja yang sekali lagi menunjuk gedung juga menyimpan karya teknik. Ada hukum dan teori fisika, matematika, kimia, dan banyak cabang ilmu lain yang memungkinkan sebuah gedung gereja berdiri megah, indah, dan mengagumkan dari zaman ke zaman. Di sinilah sebenarnya gereja pun menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Pemandangan di langit-langit Kapel Sistina yang penuh lukisan karya Michelangelo. Kapel yang diambil dari nama Paus Sikstus IV ini, kini dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan konklaf, yakni proses pemilihan paus baru. Salah satu lukisan yang ikonik adalah tentang penciptaan Adam. (Foto: Chapel Sistine)

Kalau gereja sebagai gedung saja sudah sangat benderang menunjukkan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan apalagi kalau menyinggung Gereja sebagai kelompok orang beriman yang percaya pada Tuhan Yesus. Seni, budaya dan ilmu pengetahuan semakin nyata kita rasakan.

Ibadah Kristen lekat dengan musik dan puji-pujian. Walau tidak dipropagandakan melalui speaker, tapi orang tahu bahwa musik melekat dalam ibadah Kristen. Maka tidak mengherankan, banyak musisi dan komposer dunia lahir dari kalangan Gereja.

Siapa sih yang tidak mengenal Giovanni Pierluigi da Palestrina (1525-1594), Wolfgang Amadeus Mozart yang bernama asli Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart (1756-1791), Georg Friedrich Händel (1685-1759), Johann Sebastian Bach (1685-1750), Domenico Scarlatti (1685-1757) dan masih banyak lainnya.

Wolfgang Amadeus Mozart yang bernama asli Johannes Chrysostomus Wolfgangus Gottlieb Mozart (1756-1791). (Foto: mentalfloss)

Di dunia seni lukis dan seni rupa ada 3 orang terkenal dengan banyak karyanya di Gereja-gereja Italia, khususnya Basilika Santo Petrus. Ada Michelangelo, Leonardo da Vinci, dan Raphael Sanzio.

Michelangelo atau Michelangelo Buonarroti atau Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (1475-1564) adalah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek. Karyanya yang paling kita kenal adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Kapel Sistina yang salah satunya lukisan penciptaan Adam.

Leonardo da Vinci atau Leonardo di ser Piero Da Vinci (1452-1519) adalah pelukis, pematung, arsitek, filsuf, penulis, penemu, bahkan musisi. Ada banyak karyanya yang sampai saat ini membuat banyak orang terpana. Beberapa di antaranya adalah lukisan Mona Lisa dan Perjamuan Terakhir (The Last Supper). Di zamannya ia telah merancang produk modern seperti tank, mobil, pesawat, helikopter bahkan lift.  

Untuk merancang Basilika Santo Petrus, Michelangelo dan Leonardo da Vinci dibantu oleh Raphael Sanzio (1483-1520). Ia adalah pelukis dan arsitektur.  Di umur 25 tahun, lukisan Raphael telah menarik perhatian Paus Julius II, bahkan ia dijulukan prince of painters (pangeran dari seluruh pelukis).

Raphael Sanzio (1483-1520) yang dijuluki prince of painters (Foto: Wikipedia)

Gereja tidak hanya dekat dengan seni dan budaya, tetapi juga menjadi pusat ilmu pengetahuan. Memang Gereja pun mengakui bahwa ada masa di mana Gereja mengharamkan ilmu pengetahuan tetapi pada akhirnya Gereja mau bertobat. Nah, Gereja yang bertobat ini akan menjadi bahasan saya tersendiri.

Kok bisa Gereja merangkul ilmu pengetahuan? Gereja kan ngurusin iman, ngurusin hati, sedangkan ilmu pengetahuan senjatanya nalar. Kita tahu bersama, hati dan nalar bertentangan dalam menjalankan fungsinya. Kok Gereja bisa mengharmoniskan keduanya?

Kuncinya ada dalam ungkapan “fides quaerens intellectum” yang berarti “iman mencari pemahaman.” Ini adalah metode Teologi yang dipakai oleh Santo Agustinus (354- 430), Santo Anselmus Canterbury (1033-1109), dan kembali diulas Santo Thomas Aquinas (1225 – 1274). Teologi mengarahkan untuk percaya, sedangkan ilmu pengetahuan mendorong kita untuk memahami. Ungkapan ini mengajak kita untuk mempercayai sesuatu setelah itu kita harus terus berjalan untuk memahami apa yang kita percayai. Jangan dibalik!

“Neque enim quaero intelere ut credam, sed credo ut intelam” yakni, “Saya tidak berusaha memahami agar saya dapat percaya, tetapi sebaliknya, saya percaya agar saya dapat mengerti,” kata Santo Anselmus Canterbury. Lalu Santo Thomas Aquinas menegaskan bahwa akal budi selaras dengan iman. Bahkan iman memberikan dorongan supaya nalar mencapai perkembangan intelektual.

Gregor Mendel (1822-1884) yang adalah kepala biara Augustinian  menjadi pelopor dalam penelitian genetika. (Foto: Wikipedia)

Maka tidak heran, di dalam Gereja ada banyak lahir cendikiawan masyur yang sekaligus mereka adalah uskup, imam, dan biarawan-biarawati, bahkan kaum awam.  Beberapa di antara mereka adalah kepala biara Augustinian Gregor Mendel (pelopor dalam penelitian genetika), Roger Bacon (seorang biarawan Fransiskan yang merupakan salah satu pendukung terbentuknya metode ilmiah), dan imam Belgia Georges Lemaître (orang pertama yang mengajukan teori Big Bang dalam penciptaan alam semesta).

Masih ada nama lain yang datang dari awam Katolik seperti Henri Becquerel (penemu radioaktivitas); Luigi GalvaniAlessandro VoltaAndre-Marie AmpereGuglielmo Marconi (pelopor dalam bidang listrik dan telekomunikasi); Antoine Lavoisier (bapak kimia modern); Andreas Vesalius (pendiri ilmu anatomi tubuh manusia modern); Augustin Louis Cauchy (salah seorang ahli matematika yang meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kalkulus); Niklas Koppernigk atau Nicolaus Copernicus (astronom yang mengembangkan teori heliosentrisme); Johannes Kepler (astrofisikawan teoretikal pertama); Sir Isaac Newton (bapak ilmu fisika klasik); dan masih banyak ilmuwan lainnya. 

Jejak kekristenan juga menyentuh bidang filsafat dan sastra. Ada nama Rene Descartes (bapak filsafat modern); Sastrawan seperti Dante Alighieri (1265-1321), William Shakespeare (1564-1616), serta J. R. R. Tolkien (menulis The Hobbit tahun 1937 dan The Lord of the Rings tahun 1954—1955).

J. R. R. Tolkien (1892- 1973) penulis novel asal Britania Raya yang menulis The Hobbit dan lanjutannya The Lord of the Rings. Ia adalah penganut Katolik Roma yang saleh.
(Foto: Getty Images)

Saya meyakini tokoh dunia ini, baik seniman, budayawan, musisi, sastrawan, dan filsuf percaya dahulu kepada Tuhannya, baru kemudian berselancar bersama nalarnya dalam menemukan kebenaran akan apa yang mereka yakini sebagai yang Maha. Maka tidak mengherankan, jejak pencarian Tuhan itu tersebar di karya-karya mereka. Bisa tampak secara eksplisit, namun juga banyak implisit yang lahir dari refleksi teologisnya.

Landasan keyakinan saya itu sederhana saja. Sebelum orang Kristen sekolah, kita udah diperkenalkan musik saat Sekolah Minggu. Sebelum ada ekstrakulikuler nyanyi, kita udah diperkenalkan oleh not secara tidak langsung saat ikut misa. Sedari kecil kupingku kita udah terbiasa mendengar dan menyanyikan lagu.

Saat Sekolah Minggu kita juga diperkenalkan oleh cerita-cerita dalam Kitab Suci. Ada banyak kisah menarik yang dibacakan bak dongeng bagi anak-anak. Bahkan ada guru sekolah minggu bisa membawakan kisah Kitab Suci dengan peragaan. Pada saat Natal atau Pekan Suci sebagian kisah itu didramatisasi, yang mana anak-anak juga terlibat. Ini adalah langkah awal anak-anak diperkenalkan oleh sastra, seni drama, dan lagi-lagi musik.

Saya punya kenangan masa kecil. Sekitar 3-4 tahun saya tidak betah harus diam di dalam gereja saat misa. Saya sering bermain di luar dengan diawasi oleh bapak saya. Tapi anehnya, tiap kali saya dengar Bapa Kami dinyanyikan, saya langsung lari masuk ke gereja. Yang saya ingat, saya digendong bapak di pintu gereja dan saya ikut nyanyi Bapa Kami.

Sejarah hidup para tokoh dunia di atas dan pengalaman memperkenalkan seni budaya sedari kecil di Sekolah Minggu adalah argumen paling nyata kenapa Gereja mendorong babtis bayi. Banyak orang menilai, termasuk dari kalangan umat, babtis bayi adalah bentuk pelanggaran HAM. TIDAK!!! Babtis bayi adalah bentuk pertanggungjawaban kita pada Tuhan dengan memberikan yang terbaik untuk anak kita.

Apa itu yang terbaik? Yang terbaik adalah mewarisi iman Katolik, maka setelah dibabtis anak juga wajib dididik secara Katolik, bahkan sebisa mungkin disekolahkan di sekolah Katolik. Dididik secara Katolik itu ya diajari mengasihi dan berdoa di lingkungan keluarga, dimasukkan ke Sekolah Minggu, ikut misa di gereja, terlibat dalam misdinar, koor, atau kegiatan lainnya. Karena di sanalah anak diperkenalkan secara dini bukan soal iman saja tetapi juga mengenal berbagai seni, budaya dan organisasi/ sosialisasi di mana terjadi relasi kasih.

Menuju Budaya Baru

Refleksi saya tentang Katolik dan budaya mengantar saya pada keyakinan bahwa iman Katolik adalah ladang yang subur untuk mengembangkan humanisme, yang di dalamnya ada seni, budaya, keutamaan dan ilmu pengetahuan.

Tampaknya hal ini sederhana, toh semua agama juga begitu. Awalnya saya juga berpikir begitu, sampai suatu saat saya nonton Youtube keagamaan yang isinya memperdebatkan apakah musik – alat musik – dan syair diterima atau ditolak dalam agama tertentu. Dari tontonan itu, saya pribadi semakin diyakinkan bahwa iman Katolik adalah rumah ideal.

Kembali ke awal, bagaimana menyikapi artis entah itu musisi, budayawan, sastrawan, aktris/ aktor peran yang mualaf? Saya percaya, ada alasan yang sifatnya pribadi. Yang mungkin hanya dia sendiri dari hati kecilnya dan Tuhan yang mengetahuinya. Saya bisa menduga dengan berbagai kemungkinan, tetapi tidak bisa diungkap di sini. Namun satu yang pasti, saya tetap bersyukur dan percaya bahwa mereka bisa seperti saat ini karena dilahirkan dan berkembang dalam iman Katolik.

Ini adalah karya besar Michelangelo (1475-1564) yang masih kita kagumi sampai sekarang, yakni Pieta. Patung yang menggambarkan Bunda Maria tengah memapah jenasah Yesus, Sang Putera sesaat setelah diturunkan dari salib. (Foto: Cynthia Iskandar)

Sikap saya ini sama saat melihat banyak orang sukses yang ditempa di sekolah-sekolah Katolik. Walau bukan beragama Katolik, tetapi mereka tidak pernah didoakan agar pada suatu saat dibabtis Katolik. Mereka dibebaskan untuk menjalankan agamanya selama pendidikan dan setelah lulus. Tetapi kami yakin, mereka membawa dan mengembangkan nilai-nilai kekristenan dalam hidup.

Di Indonesia ada banyak sekali tokoh seni, budaya, sastrawan, dan ilmu pengetahuan yang lahir dari tradisi Katolik. Entah mereka saat ini masih menjadi Katolik, atau telah berpindah keyakinan agamanya, atau agama apa saja tetapi pernah mengeyam pendidikan di institusi Katolik. Rasa bangga lebih terasa dibandingkan kekecewaan dan kemarahan.

Saya pikir ini saatnya mulai berpikir bahwa Katolik bukan sekadar identitas, melainkan sebuah gaya hidup. Yakni gaya hidup yang menjunjung budaya kehidupan,

“Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2: 7); “Kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu” (Ul 30: 19).

Dengan budaya kehidupan kita membangun sebuah peradaban baru, yang di dalamnya ada seni, budaya, dan ilmu pengetahuan. Kita kembangkan itu semua karena kita percaya akan Dia yang telah menciptakan kita, menganugerahkan talenta, dan tentu memberikan akal budi. Pada akhirnya semua itu kita kembalikan pada kebaikan bersama dan demi kemuliaan Tuhan.

Jadi, masih ragukah dengan iman kita? Masihkah kalian tidak bangga? Kenali dulu iman kita baru bisa bangga. Kalau gak kenal, bagaimana mau sayang. Jangan pergi dulu ya, sebelum kenal dengan imanmu. Yuks, kita hijrah ala-ala kita sendiri.  

*) Bangga Menjadi Katolik adalah tulisan berseri yang mengungkapkan sharing pribadi saya, atas keprihatinan banyak OMK yang tidak mengenal agamanya. Kalau tidak kenal bagaimana mau bangga dan memberikan kesaksian. Bagi saya, mau mengenal Katolisitas adalah bentuk hijrah yang paling nyata, sederhana, mudah, dan memberikan dampak signifikan.

Bahan Bacaan: Wikipedia dan Diktat Kuliah Fakultas Teologi Wedhabakti

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply