Tantangan membangun keluarga Katolik tidak mudah. Maka dukungan untuk keluarga baru, sering kali tidak hanya doa tetapi juga nasihat yang cukup tajam. Nasihat tajam saya dengar dari RP Agustinus Suyadi, O.Carm.
Dia adalah seorang Pastor yang memberkati perkawinan oikumene FX. Dalu Pradhah Prasaja, S.Pd dan Vivi Damayanti, S.Pd di GKJ Joglo Jakarta, Sabtu, 24 Juni 2023.
“Mengapa kamu menikah?” tanya Pastor kepada kedua mempelai saat homili.
Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab dengan lugas. Pertanyaan yang tampaknya juga membuat dahi berkerenyit bagi kami yang sudah duluan menikah. Saya menikah, tetapi mengapa saya memutuskan menikah. Tentu ada banyak jawaban dengan sederet argumentasi.
Baca Juga: Contoh Buku Misa Perkawinan Katolik
Namun, yang dimaksud Pastor adalah “Kamu memutuskan untuk menikah karena merasa lemah. Kalau merasa kuat jangan menikah!”
Jawaban sederhana untuk pertanyaan yang juga sederhana. Namun konsekuensi jawaban ini sangat dalam dan luas. Seseorang memutuskan menikah, seharusnya dilandasi oleh kesadaran bahwa dirinya membutuhkan pendamping dalam berziarah di dunia ini. Suami membutuhkan istri dan istri membutuhkan suami, keduanya saling membantu karena merasa diri lemah, butuh bantuan satu sama lain.
Jika seseorang yang merasa diri kuat, tidak membutuhkan orang lain, tetapi menikah maka orang tersebut punya kecenderungan untuk merendahkan pasangannya. Menurut Pastor, sikap ini menjadi benih awal lahirnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kasus KDRT tidak bisa dianggap sebelah mata. Berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), rumah tangga menjadi lokasi kejadian yang paling banyak terjadi kekerasan.
Sepanjang tahun 2022, KemenPPPA menerima sebanyak 16.899 aduan kekerasan rumah tangga. Lalu, jumlah korban KDRT pada 2022 pun mencapai 18.142 korban. Data ini diikuti oleh lokasi lainnya yang mencapai 6.170 kasus, fasilitas umum sebanyak 2.988 kasus, sekolah dengan 1.154 kasus, tempat kerja mencapai 324 kasus, serta lembaga pendidikan kilat sebanyak 54 kasus.
Jika dilihat berdasarkan pelaku kekerasan, hubungan suami/istri menempati posisi dengan angka paling tinggi, yaitu mencapai 4.893 pelaku kekerasan sepanjang 2022. Disusul oleh hubungan pacar/teman dengan jumlah 4.588, lainnya dengan jumlah 3.248, dan orang tua dengan jumlah 3.075 pelaku.
Power Couple
Pernyataan Pastor Suyadi dipertegas oleh RD Paulus Haruna dalam kotbahnya di Katedral Bogor, Sabtu sore, 24 Juni 2023. Kebetulan, misa tersebut juga sekaligus mengucap syukur untuk mereka yang berulang tahun perkawinan di bulan Januari – Juni. Jadi, tema kotbahnya masih seputar perkawinan. Di antara yang berulang tahun perkawinan, ada Mbak Titin dan Mas Totok, juga ada Mbak Rina dan Mas Deni.
Menurut Pastor Haruna, orang tidak bisa hidup sendirian. “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia,” (Kejadian 2:18).
“Menjadi penolong” menunjukkan bahwa masing-masing pribadi punya kelemahan dan membutuhkan orang lain. Suami membutuhkan istri, begitu juga sebaliknya. Namun, menurut Pastor Haruna hal ini juga berlaku untuk mereka yang tidak menikah seperti dirinya. Itulah mengapa, walau tidak menikah, Pastor juga mengutamakan hidup bersama dalam komunitas.
Hidup menikah maupun hidup berkomunitas yang sehat harus sampai pada prinsip “couple power.” Power couple berarti satu sama lain punya perasaan dan pikiran “kita” tidak lagi sendiri-sendiri. Di sinilah kunci sebuah landasan yang kuat dalam membangun perkawinan.
Pasangan yang sudah menginternalisasi “power couple” maka mereka saling mengakui kekuatan dan kelemahan, menghormati kemandirian, dan menyeimbangkannya dengan ketergantungan yang sehat kepada pasangan. Pasangan yang berlaku sebagai rekan yang baik akan tahu bagaimana menyelaraskan dorongan, motivasi, kehausan untuk petualangan dan pelajaran baru agar dapat berkembang bersama.
Pandangan Kitab Suci tentang Cerai
Sejatinya hal tersebut tidak mudah untuk direalisasikan. Salah satu kenyataan pahit yang kerap kita hadapi, kasus perceraian selalu saja terjadi. Berdasarkan laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Jumlah ini naik 15,31% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus.
Masih dari sumber yang sama, penyebab utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran. Jumlahnya mencapai 284.169 kasus, atau setara 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian di tanah air.
“Nah, menurutmu mengapa orang bercerai menurut Kitab Suci?” kembali Pastor Suyadi bertanya kepada Dalu dan Vivi.
Lagi-lagi pertanyaan yang sederhana namun sulit. Ada kontradiksi di dalamnya, satu sisi kita didoktrin untuk menikah sekali selamanya tetapi kok ada alasan bercerai di Kitab Suci. Lalu Pastor Suyadi menjabarkan bahwa alasan orang bercerai bermula dari orang-orang Farisi yang mencobai Yesus dengan bertanya, “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat 19:3).
Yesus tahu akal bulus mereka, lalu menjawab, ”Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian,” (Mat 19:8).
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal Yang Bikin Repot!
Yang dimaksud dengan sejak semula adalah perkawinan yang satu untuk selamanya. Masih di perikopa yang sama, Yesus bersabda bahwa “Sebab itu pria akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.’ Demikianlah mereka itu bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” (Mat 19:4-6).
Jadi, alasan orang bercerai menurut Kitab Suci adalah karena “ketegaran hati.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tegar” berarti “keras dan kering, keras kaku, tidak dapat dilenturkan.” Lalu “tegar hati” merujuk pada arti “keras hati.” Hati yang keras dalam hidup perkawinan menimbulkan pertengkaran yang berujung pada perceraian. Hal ini selaras dengan data sebelumnya yang menyebutkan penyebab utama perceraian di Indonesia adalah perselisihan atau pertengkaran.
Untuk itu, Pastor Suyadi menegaskan bahwa suami dan istri harus memiliki hati yang lembab. Sebagai pengikut Yesus tentu hal ini bukan hal asing lagi. Bahkan, kita yang telah dibabtis atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus harus hidup dengan hati yang selaras dengan hati-Nya. “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan,” (Matius 11:29-30).
Lagi-lagi, dengan hati yang lembut, hati yang lembab, memungkinkan pasangan suami istri menyadari kelemahannya dan kelemahan pasangannya, lalu saling membantu serta menguatkan. “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu” (Efesus 4:2).
Perkawinan yang Sakramen
Akhirnya, perkawinan Dalu dan Vivi adalah sakramen. “Apa maksudnya perkawinan sebagai sakramen?” kembali Pastor Suyadi bertanya. Di artikel sebelumnya, saya pernah membahas soal Sakramen. Dari asal katanya, “sakramen” berasal dari kata Yunani “mysterion” dan Latin “sacramentum,” yang adalah tanda dan sarana keselamatan yang kasat mata dari misteri Allah yang tak kelihatan, dinyatakan dalam Gereja oleh kuasa Roh Kudus (bdk. KGK 774).
Tanda di sini bukan hanya simbol yang mewakili keselamatan, tetapi benar-benar menghadirkan keselamatan itu sendiri secara nyata, di sini dan saat ini. Sakramen yang dilembagakan oleh Yesus Kristus dan dipercayakan kepada Gereja menjadi sarana penyaluran berkat keselamatan kepada kita.
Bahasa sederhananya, sakramen bukan mengenang peristiwa keselamatan yang terjadi 2 ribu tahun lalu. Tetapi, melalui sakramen kita mengimani rahmat keselamatan hadir dan kita terima, sama dengan yang diterima 2 ribu tahun lalu sebagaimana tercantum di dalam Kitab Suci.
Sakramen bukan album foto, tetapi menghadirkan secara nyata orang yang ada di album foto di sini dan saat ini. Hal tersebut dimungkinkan dapat terjadi berkat karya Roh Kudus. Sehingga Gereja mengajarkan bahwa dengan mengambil bagian di dalam sakramen, kita diselamatkan, karena melalui Kristus, kita dipersatukan dengan Allah sendiri. (lih. KGK 1129).
Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (5): Apakah Baptis Bayi Melanggar HAM?
Perkawinan sebagai sebuah sakramen berarti kasih Allah hadir begitu nyata dalam hidup suami dan istri. Suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Bagaimanapun bentuk pasangan kita, dia adalah tanda cinta dan kehadiran Allah untuk kita. “Sejelek-jeleknya” saya, harus disadari bahwa saya dipakai Allah untuk menyatakan cinta-Nya pada pasangan saya. Artinya, hidup perkawinan yang dihayati sebagai sakramen ditandai dengan saling mengasihi, menghormati, saling tolong menolong, dan semakin dekat pada Allah.
Hidup perkawinan seperti ini menjadi terang bagi dunia, menunjukkan kepada orang di sekitar kita bagaimana hidup dalam perkawinan Gereja, bagaimana menjadi murid Yesus, bagaimana sesungguhnya Allah yang kita sembah benar-benar Allah yang Mahakasih dan Mahapengampun. “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).
Sekali lagi, selamat ya Dalu dan Vivi. Terima kasih untuk perkawinan kalian yang juga menginspirasi kami semua. Semoga hidup kalian semakin menjadi Sakramen, AMIN!
by
Mantap mas Wawan….