Bangga Menjadi Katolik (9): Santo Santa Versus Artis Mualaf

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Beberapa artis atau tokoh publik beragama Katolik memilih mualaf. Perlukan kita marah? Perlukah menjadikan mereka panutan?

Hidup beriman di tengah arus kecerdasan buatan (AI) memang penuh tantangan. Produk AI kerap membuat kita terkecoh. Kemajuan teknologi mampu mengkloning suara dan video seseorang sangat mirip, sehingga kebenaran kabur di tengah ruang publik.

Arus teknologi dan informasi yang bergerak cepat makin membuat kita yang sekuat tenaga menjaga asap dapur mengebul, makin terhimpit. Kebenaran, nilai, dan norma samar seiring hidup kita yang tidak sempat merenung. Pada satu titik, kita merasa kosong, stres, dan kehilangan arah.

Kondisi ini rentan membuat kita tercerabut dari akar keimanan, spiritualitas dan budaya. “Ah sudahlah, kalau seperti ini mending saya mencuri saja untuk makan. Wong koruptor dibiarkan di negara ini,” bisa menjadi pilihan jalan kita. Atau, “Gak papalah pindah agama, rasanya lebih tenang di server sebelah. Wong artis itu aja pindah dan rejekinya jadi lancar!”

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (8): Agama Terbuka yang Menerima LGBT dan Tato

Premis “Wong dia saja.. wong artis itu aja…” bisa makin sesat jika dalam diri kita tertanam tesis, “Manusia adalah ladang salah” atau “Artis atau pejabat kan juga manusia.” Gabungan pemikiran seperti itu membuat kita memaklumi sebuah fenomena, bahkan dengan santainya kita ikut di dalam arus itu. Sikap maklum pada kejahatan, membuat kita merasa tidak bersalah untuk ikut melakukannya walau skalanya kecil. Sikap permisif pada tokoh publik yang pindah agama, membuat kita merasa tak bersalah untuk ikutan pindah walau tanpa alasan yang kuat.

Bukan keputusan akhir yang ingin saya gugat, tetapi prosesnya. Jika prosesnya benar, mau keputusan apapun yang diambil, tidak menjadi soal. Dalam seri “Bangga Menjadi Katolik” saya ingin menawarkan sebuah refleksi yang bisa menjadi pemikiran alternatif dalam menghadapi tokoh publik Katolik yang mualaf.

Semua orang Katolik, punya panggilan yang sama, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna,” (Mat 5:48). Tidak peduli apakah kita awam atau klerus, kaya atau miskin, perempuan atau laki-laki, kita semua punya tanggung jawab yang sama sebagai murid. Untuk menjadi sempurna, tentu gak mudah, maka kerap kali kita butuh panutan atau teladan.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (7): Kedatangan Paus Seperti Sedang Menerapkan Pancasila

Teladan pertama umumnya adalah orang tua kita sendiri. Dari merekalah kita belajar membuat tanda salib, ke gereja untuk misa, atau diajak untuk berziarah ke Gua Maria. Dalam perjalanan waktu, panutan itu tidak jelas. Religiusitas kita tergerus oleh kesibukan kita mengikuti perkembangan teknologi informasi. Hidup beriman terselip di tengah hiruk pikuknya kita mencari sesuap nasi.

Dalam situasi ini ada di antara kita yang tetiba galau saat mendengar tokoh publik yang dikagumi memutuskan mualaf. Peran tokoh publik tidak bisa dianggap sepele. Kita bisa ikut bangga dan termotivasi saat Jojo membuat tanda salib setelah menyelesaikan pertandingan. Namun, kita bisa sangat terpukul saat dr. Richard Lee mengucapkan Kalimat Syahadat.

Dalam perspektif psikologi, kita butuh teladan untuk membantu kita sampai pada visi hidup. Apalagi, tuntutan dalam Mat 5:48 terbilang berat. Terlebih menjadi kudus di tengah dunia modern saat ini. Namun, Gereja Katolik sejak awal mula mendampingi umatnya untuk bersama-sama berjalan menuju kekudusan.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (6): Memaknai Hijrah dalam Gereja Katolik!

Bentuk pendampingan itu adalah mengakui adanya Santo dan Santa atau Persekutuan Para Kudus. Mereka adalah manusia biasa tetapi mampu menjadi kudus di setiap zamannya. Mereka adalah teladan sejati bagi seluruh umat Katolik untuk bisa merasakan surga, baik di dunia maupun nanti di Surga abadi.

Mendiang Paus Benediktus XVI pernah berkata bahwa para kudus hadir di dunia sebagai teladan umat Katolik. Hidup mereka menunjukkan bahwa mungkin hidup sebagai orang Kristen sejati di tengah dunia. “Orang-orang kudus, meskipun jumlahnya hanya sedikit, mengubah dunia. Mereka menunjukkan kepada kita bahwa sungguh mungkin dan baik untuk menjalani hubungan kita dengan Tuhan secara radikal, untuk menempatkan Dia di tempat pertama, bukan sebagai satu perhatian di antara yang lain,” kata Paus di hadapan lebih dari 50.000 orang di kota Erfurt, Jerman, 24 September 2011.

Tahapan Menjadi Santo/Santa

Santo untuk laki-laki dan Santa untuk perempuan adalah gelar yang dianugerahkan kepada seseorang setelah mendapat kanonisasi secara resmi oleh Gereja. Jiwa mereka diyakini telah hidup kekal bersama Allah di surga dan Gereja menghormati dan meneladani cara hidupnya. Kanonisasi sendiri berarti suatu pernyataan resmi dari Gereja yang mengakui seseorang yang telah meninggal sebagai orang suci atau kudus.

Kanonisasi melibatkan beberapa tahapan, termasuk penyelidikan mendalam tentang kehidupan, kebajikan, dan mukjizat yang dilakukan melalui perantaraan orang tersebut. “Kalau Gereja menggelari kudus orang-orang beriman tertentu, artinya mengumumkan dengan resmi bahwa mereka telah menjalankan kebajikan-kebajikan dengan ksatria dan telah hidup dengan setia kepada rahmat Allah, Gereja mengakui kekuasaan Roh kekudusan yang ada di dalamnya,” (Katekismus Gereja Katolik – KGK 828).

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (5): Apakah Baptis Bayi Melanggar HAM?

Kanonisasi tidak sebentar, beberapa kasus bahkan membutuhkan waktu sampai ribuan tahun untuk memutuskan seseorang dinyakatan kudus. Contohnya, Santo Beda (Bahasa Inggris: Saint Bede), seorang teolog. Dia meninggal pada tahun 735, tetapi baru diangkat Santo pada tahun 1899.

Secara singkat, sebelum diangkat menjadi Santo/Santa, seseorang harus melalui tahapan yakni dimulai dengan gelar Hamba Tuhan (Servant of God/ Servus Dei) lalu Venerabilis (Heroic in Virtue/ Pahlawan dalam Kebajikan), meningkat jadi Beatifikasi (Orang yang Berbahagia), baru Santo/Santa (Orang Kudus/Suci).

Tahap terpenting dari kononisasi adalah pengakuan resmi oleh Paus tentang kesucian seseorang dan kemampuan untuk berintervensi dalam doa. Intervensi di sini artinya terjadi mukjizat-mukjizat terhadap doa yang dipanjatkan oleh umat beriman kepada Tuhan melalui perantaraan calon Santo/Santa yang sedang dalam proses kanonisasi. Melalui mukjizat tersebut, kita dapat melihat apakah Tuhan sungguh berkenan menyatakan orang tersebut sebagai orang kudus-Nya.

Santo/Santa punya peran khusus dan unik dalam Gereja Katolik. Tradisi ini tidak ada dalam agama lain. Bahkan, Kristen Protestan tidak mengakui adanya Santo dan Santa. Bukan asal beda, tetapi Santo/Santa penting dalam hidup beriman kita.

Kita bersama dengan Santo/Santa tergabung di dalam Tubuh Mistik Kristus atau Corpus Mysticum Christi. Ini adalah istilah teologis dalam tradisi Katolik yang merujuk pada Gereja sebagai persekutuan rohani yang hidup, yang dipersatukan dengan Kristus sebagai Kepala dan para anggota (umat beriman) sebagai bagian dari tubuh-Nya. Dasarnya ada di dalam 1 Korintus 12:12–27; Efesus 5:23; dan Roma 12:4–5.

Paus Pius XII (2 Maret 1876 – 9 Oktober 1958) dalam ensikliknya “Mystici Corporis Christi” (29 Juni 1943), menegaskan bahwa Tubuh Mistik Kristus adalah persatuan umat yang masih hidup, jiwa-jiwa di api penyucian, dan para kudus di surga (persekutan para kudus). Di sini para kudus berperan memperkuat seluruh Gereja dalam kekudusan karena mereka sendiri telah bersatu erat dengan Kristus di dalam surga. Mereka pun tidak berhenti mendoakan kita, anggota tubuh yang masih hidup dan ada di api penyucian (bdk. KGK 956).

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (4): Katolik Garis Lucu Vs Kasus Pelecehan Seksual dalam Teropong Inkarnasi

Bagi sebagian orang, pasti tergiring dengan pertanyaan, “Kan sudah ada Tuhan Yesus kenapa lagi butuh perantaraan santo/santa? Sudah ada Bunda Maria, kenapa mesti ada santo/santa? Doa kepada santo/santo bukannya justru kita menduakan Tuhan? Perantaraan cuman di dalam Tuhan Yesus, buat apa santo/santa?” Pertanyaan ‘sok kritis’ yang harusnya bisa dengan segera dijawab tegas nan lugas oleh umat Katolik. Konsep Tuhan dalam Gereja Katolik adalah Esa. Titik. Maka, hanya Tuhan yang kita sembah, tidak yang lainnya, juga bukan Bunda Maria maupun santo/santa. Santo Hieronimus pernah berkata bahwa kita tidak menyembah para kudus atau para martir, tetapi kita menghormati mereka sebagai hamba dan sahabat Tuhan.  

Umat Katolik Menyembah Santo/Santa?

Dalam tradisi Katolik, para kudus punya beberapa peran penting. Pertama, dalam konteks Tubuh Mistik Kristus, para kudus bersekutu dengan Allah Tri Tunggal di surga mendoakan anggota tubuh lainnya, seperti yang diungkap Paus Pius XII di atas. Persekutan tersebut terwujud nyata di dalam liturgi Ekaristi. Berkat Roh Kudus, kita yang merayakan Ekaristi berada dalam Persekutuan dengan Bapa dan Putera bersama Bunda Maria, Santo Yosef, para martir, dan semua para kudus (lih. Lumen Gentium 50).

Kedua, masih dalam konteks Tubuh Mistik Kristus, kita bersama para kudus berdoa kepada Tuhan untuk meminta pendampingan, hikmat, dan kekuatan di dalam peziarahan hidup. Hal itu tampak saat kita secara bersama mendoakan Litani Para Kudus saat Malam Paskah, atau secara kita menambahkan doa “Santo …. (diisi nama baptis kita), doakalah kami” di akhir doa pribadi.

Ketiga, para kudus dan juga para martir menjadi teladan hidup bagi kita umat Allah. Ketika Gereja menyatakan seseorang sebagai kudus, maka saat itulah mereka diangkat sebagai teladan kekudusan (lih. KGK 828). Dalam Christifideles Laici (1988), Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa para kudus adalah cerminan Kristus dan cahaya-Nya dalam kehidupan umat beriman. Mereka mengundang kita untuk mengikuti jalan kekudusan sesuai keadaan hidup kita masing-masing.

Baca Juga: Bangga Menjadi Katolik (2): Konsep Tritunggal yang Bikin Repot!

Santo Agustinus menyimpulkan, kekudusan bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai, asalkan kita membuka hati dan kehendak pada kasih Allah. Ia juga mendorong kita semua untuk mencari Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dan hidup dalam persekutuan dengan orang lain, dengan terinspirasi oleh teladan para kudus.

Ajakan Santo Agustinus tersebut juga berlaku untuk para public figure yang beragama Katolik. Menjadi kudus saat dirinya adalah aktris, penyanyi, PNS, pegawai BUMN, bahkan pejabat pemerintahan bukan sesuatu yang tak mungkin. Mereka sudah punya santo/santa pelindung yang menjadi teladan hidup beriman. Peran meraka sudah dijabarkan di atas.

Selain itu, Gereja menawarkan santo/santa pelindung bagi para public figure. Saya juga baru tahu, ketika menyiapkan artikel ini. Berikut adalah daftar santo/santa pelindung tersebut, semoga menjadi inspirasi bagi kita semua.

  1. Pelindung Bagi Content Creator & Influencer
    • Santo Carlo Acutis, yang dijuluki “cyber-apostle” atau “influencer-nya Tuhan”
    • Santo Paulus, di zamannya ia menulis surat-surat dan menyebarkan iman melalui “media.” Inspirasi untuk para pembuat konten bernilai edukatif dan Rohani.
  2. Pelindung Bagi Jurnalis dan Komunikator
    • Santa Katarina dari Siena: Pelindung jurnalis, penulis opini, dan komunikator sosial  
    • Santo Fransiskus de Sales: Pelindung penulis dan pekerja media Katolik
  3. Pelindung Bagi Musisi dan Seniman
    • Santa Sesilia, seorang martir awal Gereja, dikenal sebagai pelindung Musisi dan penyanyi.
    • Santo Genesius dari Roma, seorang aktor yang menjadi pelindung aktor, komedian, dan pemain drama.
  4. Pelindung Bagi Politisi dan Tokoh Publik
    • Santo Thomas More, seorang politisi dan penasihat Kerajaan Inggris dan kini jadi pelindung politisi.
    • Santo Oscar Romero, Uskup dan pembela hak asasi manusia dari El Salvador.
    • Santo Ambrosius, Uskup yang juga gubernur, dikenal karena kebijaksanaan dan keberaniannya menegur penguasa.
  5. Pelindung Bagi Desainer dan Pekerja IT
    • Santo Carlo Acutis
    • Santo Isidorus dari Sevilla, pelindung internet karena sumbangannya yang besar dalam bidang pengetahuan dan komunikasi.
  6. Pelindung Bagi Public Figure secara Umum.
    • Santo Yohanes Paulus II, seorang komunikator ulung, publik figur dunia, dan inspirasi lintas generasi.
    • Santa Teresa dari Kalkuta (Bunda Teresa), biarawati yang juga tokoh kemanusiaan dunia, serta peraih Nobel Perdamaian pada tahun 1979.

Santo Carlo Acutis

Hari ini menjadi momen spesial bagi umat katolik, karena Paus Leo XIV memimpin Misa Kanonisasi Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis. Di hadapan lebih dari delapan puluh ribu umat beriman yang memenuhi Lapangan Santo Petrus pada hari Minggu, 7 September 2025, Paus menunjukkan keteladanan kedua santo muda ini.

Paus Leo XIV mengundang kita semua, terutama kaum muda, untuk mengarahkan hidup kita kepada Tuhan dan menjadikannya mahakarya kekudusan, pelayanan, dan sukacita.

Dalam homilinya, Paus merenungkan kesaksian luar biasa dari kedua Santo baru ini. Mengutip kata-kata dari bacaan Minggu pertama Kitab Kebijaksanaan, Paus mengamati bahwa, seperti Raja Salomo, para pemuda ini mencari karunia kebijaksanaan untuk lebih memahami rencana Allah bagi hidup kita dan dunia, serta mengikutinya dengan setia. Dan dengan demikian, mereka menggunakan karunia mereka untuk membawa orang lain kepada Allah melalui teladan, perkataan, dan tindakan mereka.

Paus menyinggung sedikit sosok Pier Giorgio Frassati sebagai mercusuar spiritualitas awam. Pria kelahiran Torino Italia 6 April 1901 itu dikenal sebagai aktivis Katolik Italia dan anggota Ordo Dominikan Ketiga.

“Kehidupan Pier Giorgio adalah mercusuar spiritualitas awam,” karena iman bukanlah urusan pribadi dan dapat dihayati dalam komunitas melalui keanggotaan dalam perkumpulan-perkumpulan gerejawi dan melalui komitmen yang besar terhadap kehidupan politik serta pelayanan kepada kaum miskin,” kata Paus.

Sedangkan untuk Carlo Acutis, pelajar Italia kelahiran Inggris 3 Mei 1991 dipadang Paus sebagai saksi kekudusan dalam kesederhanaan. Santo Carlo juga menemukan dan menghayati imannya melalui sekolah, terutama sakramen-sakramen yang dirayakan di komunitas paroki. “Ia tumbuh secara alami dengan mengintegrasikan doa, olahraga, studi, dan amal kasih ke dalam hari-harinya sebagai anak-anak dan remaja,” ungkap Paus.

Sebagai penutup, Paus Leo menggarisbawahi bagaimana Santo Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis mengajak semua orang, “terutama kaum muda, untuk tidak menyia-nyiakan hidup kita, melainkan mengarahkannya ke atas dan menjadikannya mahakarya.”

“Mereka menyemangati kita dengan kata-kata mereka: “Bukan aku, melainkan Tuhan,” seperti yang biasa dikatakan Carlo. Dan Pier Giorgio: “Jika engkau menjadikan Tuhan sebagai pusat segala tindakanmu, maka engkau akan mencapai tujuan.” Inilah formula sederhana namun jitu dari kekudusan mereka. Inilah juga jenis kesaksian yang harus kita ikuti, agar dapat menikmati hidup sepenuhnya dan bertemu Tuhan dalam pesta di surga.

Yang menarik, kanonisasi Santo Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis bertepatan dengan perayaan 11 tahun perkawinan kami, Sari dan Wawan. Semoga menjadi berkat bagi kami berdua. Amin.

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply