Memahami Kemarahan Anarkis Rakyat pada Elit Negara

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Pemerintah baru belum genap setahun. Tapi ragam kontroversi mencuat, membakar emosi masyarakat. Tapi kita malah dibilang, “Ndasmu!”

Memang tidak mudah memimpin dan mengelola sebuah negara sebesar Indonesia. Tapi, hal ini tidak boleh jadi alasan jika dalam praktiknya pemerintah kerap berjalan di luar rel. Sejak awal maju menjadi calon Presiden, tentu konsekuensinya sudah dipetakan. Mereka yang merapatkan barisan dukungan pun sadar apa yang akan diperbuat ke depannya jika memenangi pemilu.

Seiring waktu, peryataan kontroversial meluncur dari kalangan elit. Mulai dari Presiden, para pembantunya, sampai kini para anggota DPR. Belum lagi tindakan korupsi para pejabat yang makin membuat masyarakat muak.

Baca Juga: Dosa Pemerintah yang Tersembunyi di Balik Kisruh Gas Melon

Deretan demo besar tercatat dalam sejarah pemerintahan Presiden Prabowo. Mulai dari demo ‘Indonesia Gelap’ yang terjadi di rentang Februari–Maret 2025. Lalu demo buruh di depan Istana di awal Juni 2025. Kemudian demo yang cukup heboh terkait revisi UU TNI pada 15 Maret 2025. Lalu di bulan ini sudah ada dua: Demo bukarkan DPR dan demo buruh. Keduanya di depan gedung DPR RI.

Untuk yang terakhir, demo berujung rusuh dan berkelanjutan. Pemicunya adalah Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojol, tewas terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polda Metro Jaya di tengah aksi demonstrasi di Jakarta, 28 Agustus 2025. Saat itu, masa menolak kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Respons pemerintah dan DPR yang terbilang lambat menyikapi keadaan menjadi salah satu sebab meluasnya demo. Pada 29 Agustus katadata.id memetakan sedikitnya ada 20 titik aksi di seluruh Indonesia hingga 30 Agustus dini hari.  Sebaran lokasi aksi di Sumatera termasuk di Kota Medan, Jambi, hingga Padang. Di Jawa, gelombang demonstrasi terjadi di Jakarta, Karawang, Bandung, Tasikmalaya, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, hingga Malang.

Baca Juga: Menegaskan Peran Negara di Setiap Kecelakaan

Aksi juga memanas di Pontianak dan Palangkaraya Kalimantan, hingga Manokwari di Papua Barat. Ironisnya, demo yang diwarnai pengerusakan masih terjadi sampai saat ini, Minggu, 31 Agustus 2025.

Perwakilan masyarakat itu dengan lantang menyerukan ragam aspirasi, “Bubarkan DPR!” “DPR: Dewan Pembeban Rakyat,” “Indonesia Gelap,” dan “Kabur Aja Dulu.” Bagaimana reaksi pemerintah dan DPR? Sebagian besar menyerang balik dan bernada merendahkan.

Pernyataan paling fenomenal datang dari Presiden yang menyebut para pengkritiknya “Ndasmu” alias “Pala loe!” Terhadap gelaran demo, dia sebut hajatan demokrasi itu dibiayai oleh koruptor.  Dan salah satu anggota DPR Ahmad Sahroni “Orang tolol sedunia,” kepada mereka yang ingin DPR dibubarkan.

Tak Ada Asap Tanpa Api

Demo dan sumpah serapah dari perwakilan masyarakat (bukan wakil rakyat) tidak terjadi begitu saja. Ada alasan dan kondisi tertentu yang kuat sehingga mereka bersikap dan bersuara. Kondisi ekonomi yang buruk pun rasanya tidak cukup mendorong masyarakat turun ke jalan.

Di era pasca Perang Korea (1950-an–1960-an), Korea Selatan adalah negara miskin. Namun, pada waktu itu, semua rakyatnya rela berpartisipasi dalam program pembangunan nasional, bekerja keras dalam industrialisasi, bahkan menabung dalam Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru). Rakyat mau membantu pemerintah karena mereka melihat negara dijalankan dengan bersih dan terbukti untuk kemajuan bersama. 

Baca Juga: Pesan Rabu Abu dan Hari Valentine untuk Pemilu 2024

Hal serupa terjadi di Jepang setelah Perang Dunia II (1945–1950-an). Negeri Matahari Terbit itu luluh lantak menyisahkan duka. Namun, rakyatnya mau bersama pemerintah untuk bekerja keras, menerima kebijakan penghematan, dan mendukung rekonstruksi nasional. Lagi-lagi, rakyat mau sukarela karena melihat pemerintah berlaku adil, terbuka, dan jujur dalam mengelola negara.

Filsuf Yunani bernama Plato (427 SM – 347 SM), dalam bukunya Politeia berpendapat bahwa negara akan maju jika mampu mewujudkan keadilan bagi semua warganya. Baginya, keadilan adalah harmoni, yakni tiap bagian negara maupun individu menjalankan fungsinya tanpa saling mencampuri urusan yang bukan tugasnya.

Para pemimpin negara menjalankan tugasnya dengan amanah, menegakkan aturan tanpa pandang bulu, menetapkan kebijakan yang inklusif, dan tidak melakukan ragam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Para penegak hukum menjalankan tugasnya tidak nyambi melakukan bisnis. Para petani, pedagang, pengusaha sebagai produsen memenuhi kebutuhan masyarakat, menggerakkan ekonomi, dan tidak membebani ekonomi rakyat kecil. Dan masyarakat umum berlaku baik dan turut menciptkan keamanan, kenyamaman, dan kesejahteraan bersama.

Di era modern, filsuf bernama John Rawls (1921–2002) asal Amerika Serikat menegaskan prinsip perbedaan (difference principle) dalam teori keadilan. Prinsip ini, sebagaimana tertuang dalam bukunya A Theory of Justice (1971), mengatakan bahwa ketidaksetaraan ekonomi boleh ada hanya jika bermanfaat bagi mereka yang paling lemah dan kurang beruntung. Artinya, sistem boleh memberi insentif lebih besar kepada orang berbakat/pekerja keras, tetapi hasilnya harus ikut membantu yang miskin.

Baca Juga: Belajar Menjadi Ayah dari SBY dan Jokowi

Prinsip ini jika dilihat secara kritis, masyarakat marah kepada anggota DPR karena besarnya upah mereka tidak menetes pada rakyat kecil. Mereka yang harusnya memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil dan mengangkat derajat rakyat kecil di setiap tugas dan fungsinya, tapi itu tidak dilakukan. Kinerja anggota DPR dinilai tidak sesuai dengan upah yang mereka terima. Hal inilah yang membuat masyarakat marah.

Berani Bercermin

Masyarakat punya asumsi, mereka yang duduk di elit Republik Indonesia punya kemampuan berpikir yang cukup. Soal empati bisa dibahas belakangan. Berangkat dari asumsi tersebut, mestinya para elit mampu membaca makna dari sebuah fenomena, mampu menangkap pesan dari sebuah kejadian.

Jika masyarakat mengatakan “bubarkan DPR” atau “kabur aja dulu” dan seterusnya, jangan dilihat sebatas kalimat itu saja. Kalau berhenti di situ, tidak heran para elit dengan enteng membalas “Dasar tolol,” dan “Ndasmu!” Masyarakat berkata seperti itu karena emosi, dibalas dengan elit dengan emosi pula. Kualitas seperti itu kok menjadi pemimpin!

Mari kita lihat lagi bagaimana reaksi pemerintah dalam menyikapi kekecewaan masyarakat. Presiden Prabowo bukan sekali bilang “ndasmu” pada para pengkritiknya dengan mimik mengejek dan disambar tawa pejabat pada acara perayaan Hari Ulang Tahun ke-17 Gerindra. Presiden mengulangi ejekan itu saat pembentukan kabinet, makan bergizi gratis, dan kedekatannya dengan mantan presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Implikasi Fifsafat dalam Pernyataan Jokowi Soal Kampanye

Tak berhenti di situ, Presiden juga menganggap remeh keresahan masyarakat terhadap kondisi Indonesia melalui tagar #KaburAjaDulu. ”Indonesia gelap, kabur aja deh. Yo kabur aja loh, emang gampang lo di situ, di luar negeri? Di situ dikejar-kejar,” kata Prabowo dalam sambutannya di acara Penutupan Kongres PSI 2025, Minggu, 20 Juli 2025.

Pejabat lain seakan mengekor pemimpinnya. Toh, masyarakat memaklumi melihat pejebatnya asal omong, jauh dari etika, bahkan terkesan mengadopsi bahasa jalanan. Lihat bagaimana kalimat ini, “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi, hi-hi-hi,” kalimat legendaris dari Immanuel Ebenezer Gerungan, mantan Menteri Ketenagakerjaan RI yang kini mendekam di tahanan KPK, saat menanggapi viral ajakan #KaburAjaDulu.  

Saat publik resah dan mengekspresikan melalui frasa “Indonesia gelap” kembali mendapat cibiran dari pejabat. “Kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengeklaim sana-sini,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia, dalam acara The Economic Insights 2025 di Jakarta, Rabu, 19 Februari 2025. Dilihat dari rekeningnya, kita akui memang dia sekeluarga tidak merasakan gelap! Berarti dia benar, rakyat yang salah dan lebai.

Setali dua uang, pernyataan pejabat di DPR juga sama tak sensitifnya dengan pejabat eksekutif. Selain kalimat ngawur dari Ahmad Sahroni, juga keluar dari Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dari Golkar, “Saya kira make sense lah kalau Rp50 juta per bulan (soal tunjangan rumah).”

Baca Juga: Meraba Hubungan Megawati dan GenZ

Masih soal tunjungan rumah DPR. “Itu macetnya (rumah Nafa Urbach di Bintaro) tuh luar biasa, ini sudah setengah jam di perjalanan (menuju kantor DPR di Senayan) masih macet,” ujar Nafa Urbach, anggota DPR dari Partai Nasdem.

Menanggapi gaji PNS tidak naik, Anggota Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia dari Golkar berujar, “Kita juga harus melihat situasi fiskal kita, apalagi situasi rakyat kita sekarang ini kan juga sedang tidak baik baik saja.”

Anggota DPR makin jauh dengan rakyat yang mereka wakili tampak dari ujaran, “Ada lah sisakan satu gerbong untuk cafe ya kan, untuk ngopi, paling tidak di situ untuk smoking area (area merokok),” kata Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKB Nasim Khan.

Para elit seharusnya bertanya diri, mengapa masyarakat meluapkan emosinya dengan ragam ekspresi. Mulai dari “Bubarkan DPR,” “Pengibaran bendera One Peace,” “Tagar #KaburAjaDulu”, “Indonesia Gelap,” dan lain sebagainya. Para elit secara reflektif bertanya diri, apa yang tengah dihadapi masyarakat? Apa yang salah dengan kinerja saya sebagai anggota DPR? Apa yang telah saya perbuat di pemerintahan sehingga ada protes? Dan sederet pertanyaan reflektif untuk membaca tanda-tanda di masyarakat dan mengoreksi diri secara internal, alih-alih menyerang balik dengan emosional.

Para elit Republik Indonesia yang terhormat dan tercinta, camkanlah bahwa kami, masyarakat Indonesia rela berkorban di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat ini jika kalian semua menjadikan milik keutamaan (virtue) dan keadilan. 

Baca Juga: Ancaman Oligarki Korupsi di Tahun Politik

Sebuah kutipan dari Confucius kiranya sangat menarik kita perhatikan, “Jika rakyat dipimpin dengan hukum dan aturan, mereka hanya akan menghindari hukuman; tetapi jika dipimpin dengan kebajikan dan keadilan, mereka akan memiliki rasa malu dan ikut memperbaiki diri.”

Senada dengan Confucius, seorang filsuf kelahiran Swiss Jean-Jacques Rousseau (1712–1778), dalam bukunya The Social Contract, berpendapat rakyat rela tunduk dan mendukung negara bila pemerintah menjalankan “kehendak umum” (general will) yang adil, bukan kepentingan kelompok tertentu. Menurutnya, keadilan pemerintah adalah syarat agar kontrak sosial antara negara dan rakyat tetap terjaga.

Jika kalian masih menganggap rakyat sebagai komoditas dan tidak pernah melihat bahwa kami benar-benar ada, emosi itu tidak akan meredam. Aksi penjarahan dan pengerusakan yang terjadi di rumah para elit seperti Ahmad Sahroni, Surya Utama alias Uya Kuya, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, Sri Mulyani Indrawati, dan Nafa Urbach dapat dilihat sebagai bentuk kesenjangan antara para elit dan rakyatnya. Semakin besar jarak itu, makin jauhnya harapan terwujudnya keadilan bagi rakyat Indonesia.

Artikel ini juga tayang di Kompasiana. 

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply