Buku Melayani dalam Sunyi. Refleksi Hidup Seorang Pelayan

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Panggilan menjadi murid Yesus adalah panggilan menjadi pribadi yang siap diutus untuk mewartakan kasih dan kebaikan Allah melalui setiap langkah laku kita. Kita diutus untuk meninggalkan keegoisan kita dan memberikan diri pada sesama entah dalam keluarga, tempat kerja, lingkungan rumah dan tentu Gereja.

Baca Juga: Buku Lemhanas: Indonesia Menuju 2045

Ibu Dra. Maria Magdalena Sri Koestini adalah salah satu murid Yesus yang menjawab panggilan menjadi murid tersebut, setelah dibaptis di usia 25 tahun. Mulai saat itu, secara khusus Ibu yang dipanggil Tien ini menjalankan panggilan supaya hidupnya menjadi berarti.

Bagi Ibu Tien, mewujudkan hidup yang berarti tidak mengenal usia. Di usia produktif kita terpacu untuk memberikan diri kita semaksimal dan seoptimal mungkin bagi Tuhan dan sesama. Semangat ini harus terus terjaga walau usia telah memasuki masa senja, yakni saat pensiun tiba.

Jauh sebelum Ibu Tien pensiun, beberapa sejawat guru kerap bertanya, “Kalau pensiun mau ngapain?”

Ibu Tien dan suaminya, Drs. Tarcisius Soedadi, adalah guru di SMA Xaverius Palembang, Sumatra Selatan. Di antara teman-teman guru, ada yang berencana untuk pulang ke Pulau Jawa saat memasuki purna bakti. Angkatan awal para guru di bawah Yayasan Xaverius Palembang memang didominasi orang Jawa. Mereka adalah perantauan dari pulau seberang setelah menamatkan pendidikan. Termasuk Ibu Tien dan suaminya.

Tien yang lahir di Undaan Lor, Kudus, Jawa Tengah 8 Januari 1942 itu tidak pernah takut menghadapi masa pensiun. Menjelang dan bahkan setelah pensiun rasanya seperti tidak ada perubahan dibandingkan di masa produktif. “Enjoy aja,” katanya.

Namun yang menjadi pertanyaan penting dalam dirinya adalah, “Apa yang harus saya lakukan setelah pensiun, agar hidup saya tetap berarti?”

Ibu Tien menyadari tidak semua orang mampu menerima masa pensiun, masa di mana seseorang yang sebelumnya aktif menjadi kehilangan pekerjaan formalnya. Nyatanya, ada beberapa orang mengalami dampak negatif saat menjalani masa pensiunnya.

Mereka tidak hanya terganggu pada kesehatan fisiknya, tetapi juga bisa mempengaruhi kesehatan psikologis. Hal itu terjadi karena pekerjaan yang kita jalani di usia produktif, membantu kita untuk terus mengasah kesehatan mental.

Saat kita pensiun, rutinitas itu berubah atau bahkan berhenti sama sekali. Ada kesosongan. Ada sesuatu yang hilang. Kita mulai kehilangan kesempatan untuk menantang diri secara mental. Lebih dari itu, secara kognitif kita juga sudah melemah. Mental dan daya kognitif mulai kehilangan daya, seiring dengan penurunan kualitas fisik. 

Baca Juga: Buku Maju Bersama Dalam Harapan Dan Kasih

Dampaknya tidak main-main. Ketidaksiapan memasuki masa pensiun membuat orang depresi. Beberapa di antaranya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Dan tidak sedikit yang mengalami gangguan jiwa.

Salah satu cara untuk membangkitkan semangat, bahwa hidup mereka masih berarti adalah dengan sosialisasi. Biarkan mereka bergaul dengan yang seumuran. Kalau kita perhatikan, saat mereka di usia pensiun, mereka kerap saling kumpul untuk saling menguatkan.

Namun situasi ini kadang tidak berjalan lama. Ada banyak alasan, misalnya salah satu atau beberapa dari mereka sakit dan meninggal. Hal yang paling berat adalah saat dunia dilanda pandemi COVID-19. Periode yang berlangsung sejak awal 2020 sampai sekarang (Mei 2022), membuat kaum senior diisolasi atas alasan keselamatan. Mereka masuk dalam kelompok rentan terpapar virus COVID-19.

“Sejak pandemi COVID-19, 2 dari 5 lansia mengalami gangguan jiwa. Pembatasan sosial meningkatkan isolasi sosial dan rasa kesepian pada lansia selama pandemi,” ungkap dr Gina Anindyajati, Sp.KJ., dokter spesialis kesehatan jiwa Rumah Sakit Universitas Indonesia.

Fenomena ini diamini oleh Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD-KGer, MSc. Epidemiolog Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo itu mengatakan, selama pandemi COVID-19 ia menghadapi pasien yang kebanyakan lansia. Mereka mengeluhkan kondisi psikis, khususnya depresi dan kecemasan.

“Kecemasan terkait dengan kekhawatiran terutama pada COVID-19. Sebab, mereka pasti sudah tahu kalau lebih rentan terinfeksi dan mengalami penyakit yang berat. Karena itulah mereka menjadi lebih cemas. Sementara depresi muncul dari kecemasan berlebihan. Mereka merasa tidak berdaya dengan pandemi ini ditambah dengan adanya pembatasan sosial,” ujar konsultan Geriatri ini. Geriatri adalah media edukasi bagaimana mempersiapkan diri dalam menyongsong usia lanjut serta memahami orang tua kita.

Baca Juga: Buku Trans Papua: Tak Sekadar Mengaspal Tetapi Membangun Konektivitas Budaya

Ibu Tien yang mulai memasuki masa pensiun di tahun 2003 ingin tetap hidupnya terus berarti. Untuk menjadi berarti, ia meyakini bahwa dirinya sebagai seorang murid harus memiliki keberanian menjadi saksi dalam mewartakan kebaikan Tuhan. Keberanian itu harus menjadi milik, melekat pada dirinya.

Ibu Tien adalah sosok yang cukup istimewa dalam menghidupi pemuridannya. Pertama, beliau memiliki keberanian, yang ditempa dari pengalaman sejak dirinya masih muda. Secara tidak sadar, inilah salah satu modal penting dalam mengisi masa pensiunnya sehingga dirinya masih tetap berarti. Militansi menjadi murid dilandasi pada keberanian memegang dan menghidupi nilai-nilai keagamaan maupun norma kemasyarakatan.

Nilai-nilai agama tidak pernah lepas ia gali melalui Ekaristi, doa, baca Kitab Suci, retret dan sarana lainnya. Nilai kemasyarakatan diperkenalkan kepadanya sejak dini oleh ayahnya yang adalah lurah Undaan Lor, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sejak belia, Ibu Tien sudah luwes bergaul dengan kalangan atas maupun bawah, bahkan aktif dalam organisasi kepemudaan dan kepartaian.

Salah satu konsekuensi yang harus dihadapi Ibu Tien dalam organisasi tersebut, dirinya mau tidak mau bersinggungan dengan mereka yang berbeda ideologi, seperti para pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Juga tidak bisa menghindari pergaulannya dengan mereka yang berbeda agama. Isu PKI dan beda agama di luar Katolik bukan inti dari buku ini, tetapi menjadi bagian hidup Ibu Tien. Pengalaman itu membentuk Ibu Tien seperti sekarang ini, yang sangat toleran, bisa hidup harmonis dalam perbedaan, berani, kuat, dan teguh dalam memegang prinsip hidup dan iman. 

Keistimewaan kedua, Ibu Tien memiliki pengalaman yang panjang di dunia pelayanan rohani. Konsistensi menjalankan peran seorang murid dipadu dengan keberanian yang ditempa sejak muda dalam banyak organisasi, membuat Ibu Tien semakin terbuka pada kehendak Tuhan. Ia aktif melayani sejak masih menjadi guru di Yayasan Xaverius Palembang sampai pensiun.

Baca Juga: Buku Project Ready To Offer KEK Dan KI

Saat aktif menjadi guru, Ibu Tien cenderung aktif dalam organisasi formal Gereja, seperti Wanita Katolik, Komisi Kerasulan Awam, dan lainnya. Namun setelah pensiun tahun 2003, ia mulai mengurangi pelayanan dalam organisasi formal. Ia fokus pada pelayanan doa.

Dalam perjalanan waktu, Tuhan menuntunnya untuk bertekun dalam pelayanan doa yang personal. Tetap pada pelayanan doa, tetapi kini lebih personal untuk membantu murid-murid Tuhan lintas agama yang mendambakan kedamaian lahir dan batin dalam kasih-Nya.

Nama pelayanan doa ini adalah “Ditenggelamkan dalam Doa dan Dihujani oleh Firman.”

Di tengah pandemi Covid-19, pelayanan yang dilakukan Ibu Tien terus berjalan. Caranya adalah dengan menggunakan telepon, aplikasi zoom meeting, atau panggilan telepon melalui WhatsApp. Walau di usia purna bakti, Ibu Tien ingin hidupnya tetap berarti sekalipun berada dalam situasi pandemi.

Akhirnya, keistimewaan Ibu Tien ini terletak pada pelayanan yang bersifat berkelanjutan. Dirinya sadar bahwa kita dipanggil untuk melayani karena Yesus Kristus telah memilih untuk diri-Nya sendiri peran sebagai pelayan, dan Ia memanggil kita untuk menjadi seperti Dia.

Dalam memberikan pelayanan, Yesus tidak pernah sendiri, ia memilih mitra yakni keduabelas murid. Ia pun tidak pernah lepas dari persekutuan dengan Allah Bapa dan Roh Kudus dalam melayani. Itulah mengapa Ibu Tien selalu bergerak bersama mitra, baik sesama awam maupun (terlebih) dengan klerus. Di sinilah unsur keberlanjutan dari pelayanan yang dilakukan Ibu Tien.

Tidak sedikit mitra awam Ibu Tien justru datang dari mereka yang sebelumnya dilayani oleh dirinya. Sedangkan mitra klerus sifatnya wajib. Mereka yang dilayani Ibu Tien wajib menerima Sakramen Ekaristi, Tobat, sampai Sakramen Pengurapan yang hanya bisa diberikan oleh kaum klerus.

Kerja sama Ibu Tien dengan klerus semakin terjalin, ketika kaum klerus menyadari bahwa ada bidang-bidang pelayanan tertentu yang mereka tidak mampu atau memiliki potensi melanggar etika. Maka Ibu Tien pun mendapat kepercayaan menangani umat yang dipercayakan kaum klerus untuk dilayani.

Baca Juga: Buku Jejak Lensa Pembangunan Perhubungan Pulau Sulawesi

Hubungan kepercayaan dan kerja sama yang terjadi antara Ibu Tien dengan kaum klerus (yang dalam hal ini para pastor), bisa menjadi tolok ukur hubungan yang seharusnya terjadi antara awam dan para pastor dalam panggilan pemuridan. Baik awam maupun klerus dipanggil menjadi murid, menjadi saksi yang berani mewartakan kebaikan Tuhan Yesus. Dalam praktiknya, awam dan klerus harus saling terjalin ikatan kepercayaan dan kerja sama yang membangun demi terwujud nyatanya Kerajaan Allah di dunia.

Ibu Tien sebagaimana awam dan kaum klerus menimba pada sumber kekuatan yang sama dalam memberikan pelayanan. Sumber itu adalah kembali pada kekuatan Allah Bapa dengan penyelenggaraan Roh Kudus. Sehingga pelayanan yang diberikan tidak kembali pada diri sendiri, melainkan demi kemuliaan Tuhan semata.

Kisah pelayanan Ibu Tien senyatanya adalah pengalaman kasih-Nya bersama Tuhan Yesus. Rasanya, pengalaman akan Kasih Allah tidak mampu dinikmati dan disimpan sendiri. Pengalaman itu pun tak cukup untuk diwartakan. Maka, Ibu Tien berdiskusi dengan kami, apakah pengalamannya menjadi saksi Yesus bisa dituliskan. Dituliskan supaya lebih berarti untuk diri sendiri dan bagi banyak orang.

Apalagi, Ibu Tien di tahun 2022 genap berusia 80 tahun. Usia ini istimewa. Bukan hanya soal umur yang panjang, tetapi disebut spesifik dalam Kitab Suci, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu? Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana,” (Mazmur 90:10-12).

Secara implisit pemazmur mau mengatakan bahwa hidup itu penuh kesukaran dan penderitaan. Jika hidup 70 atau 80 tahun berarti hidupnya diwarnai dengan kepahitan. Namun, pemazmur dengan tegas mengatakan bahwa umur panjang adalah kebanggaan jika memiliki hati yang bijaksana.

Baca Juga: Contoh Buku Misa Perkawinan Katolik

Orang yang berhati bijaksana adalah mereka yang mendengar Firman Allah dan melakukannya (bdk. Matius 7: 24-25; 1 Korintus 3: 10-11); Membekali diri menghadapi masa depan termasuk saat meninggalkan dunia (bdk. Amsal 6: 6-8); Mau menerima masukan dan kritik yang mengembangkan (bdk. Amsal 9: 8-9, 12:1, 19:20); Takut akan Tuhan (bdk. Amsal 1: 7 dan 9:10); Menjahui segala sesuatu yang salah (bdk. Amsal 8: 13) dan dengan rela hati melakukan yang baik dan benar (bdk. Amsal 2:20; 13:6; 11:3; 11:5-6; dan 8:20); Menghindari segala bentuk kejahatan (bdk. Amsal 3:7; 14:16; dan 16:6); bersikap rendah hati (bdk. Amsal 11:2; 15:33; 18:12; dan 26:12).

Ibu Tien mensyukuri bahwa Tuhan telah menganugerahkan 80 tahun hidup yang membanggakan. Yakni hidup yang diperjuangkan untuk selalu memiliki hati yang bijaksana. Baginya, hati seperti ini menjadi modal penting untuk menjadikan hidupnya terus berarti, bagi Tuhan dan sesama. Meskipun umur telah memasuki usia senja.

Dengan banyak keterbatasan, akhirnya proses penulisan pun berjalan. Sambil menyusun, tujuan penulisan mengalami perkembangan. Terutama terkait mau didistribusikan ke mana jika bukunya sudah terbit? Jika awalnya sekadar ingin sharing bagaimana menjadikan hidup berarti dengan menjadi murid Yesus, kini kami pun ingin berbagi pada anak-anak Panti Asuhan Santa Maria, Pasang Surut, Kabupaten Musi Banyuasin dan pada Seminari Menengah Santo Paulus Palembang. Keduanya di Provinsi Sumatra Selatan.

Kebetulan, keluarga besar panti asuhan tersebut pernah dan sedang dilayani oleh Ibu Tien. Kami berpikir, kasih Tuhan yang tercurah pada mereka melalui pelayanan doa, semakin sempurna dirasakan dalam wujud materi. Maka kami berniat seluruh penjualan buku ini akan disumbangkan ke Panti Asuhan Santa Maria Pasang Surut dan Seminari Santo Paulus Palembang. Mengingat Ibu Tien dan suami pernah mengajar di Seminari Menengah tersebut, dan ingin selalu memberi dukungan, perhatian dan donasi untuk para calon pastor.

Akhirnya, melalui buku ini pula, diharapkan banyak orang terinspirasi untuk menjadi Ibu Tien yang lain. Berjuang lebih gigih menjadi murid Yesus yang baik, berani menjadi saksi-Nya dengan mewartakan kebaikan-kebaikan Tuhan Yesus dalam kerja sama dengan kaum klerus. Semuanya ini dilakukan semata demi menghadirkan kemuliaan Tuhan di tengah-tengah dunia.

* Saya menjadi Penulis di buku yang berjudul “Melayani dalam Sunyi. Refleksi Hidup Seorang Pelayan” (Biografi Tien Sudadi, 2022).

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply