





Tiga lilin dari empat lilin di lingkaran adven sudah menyala. Artinya, sebentar lagi kita akan merayakan Hari Raya Natal. Sukacita semakin nyata, dan harapan pun semakin mendekati kenyataan. Itulah mengapa di Hari Minggu Adven III ini Gereja menyebutnya sebagai ‘Minggu Gaudete,’ artinya ‘Minggu Sukacita.’
Sukacita disimbolkan dengan lilin warna muda telah dinyalakan. Warna ini tidak sembarangan dipilih. Merah muda adalah paduan antara warna unggu (Adven) dengan warna putih (Natal). Artinya, sukacita natal sudah kita rasakan tetapi belum terasa sempurna. Kalau makanan, seperti baru nyicip nikmatnya suatu hidangan.
Uniknya, sukacita di sini tidak diartikan sebagai ungkapan lahiriah. Tuhan menuntun kita untuk mendeposisikan hati untuk merasakan sukacita dalam sebuah pengharapan. Dalam bacaan pertama, Yesaya 35: 1-6a, 10, kita diajak untuk berharap pada kedatangan Mesias, Sang Juru Selamat.
Yesaya ingin berkata kepada kita, “Hei, hayo bersukacitalah karena Mesias yang kita nantikan, yang kita harapkan bentar lagi datang loh..” Bayangkanah kalau tamu yang kita harapkan ternyata dipastikan bentar lagi datang, maka hati kitapun dipenuhi oleh suka cita.
Tapi bagaimana memastikan kalau Dia itu si Mesias yang kita tunggu? Jangan-jangan salah! Pertanyaan ini bukan mengada-ada. Karena di zaman Perjanjian Lama, ada banyak nabi palsa, ada banyak yang mengaku mesias, ada yang merasa mendapat ‘wahyu’ atau ‘wangsit’ kalau dirinyalah yang diutus menjadi juru selamat.
Yesaya tidak diam saja terhadap kebingungan umat. Dia kasih ciri-ciri Sang Mesias yakni, “Orang lumpuh bukan hanya berjalan tetapi meloncat-loncat seperti rusa; orang bisu tidak hanya bisa berkata-kata tetapi menyanyikan lagu pujian; duka dan keluh kesah akan lenyap.”
Ciri Mesias itu diyakini ada dalam diri Yesus Kristus. Nubuat Yesaya genap dalam diri Yesus. Untuk semakin meyakinkan, Matius dalam 11: 2-11 mengulangi Nubuat Yesaya bahwa Mesias sudah datang karena tanda-tandanya sangat jelas, dimana orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta disembuhkan, orang tuli mendengar, orang mati hidup kembali dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. ”
Namun demikian, tanda yang jelas pun tidak membuat orang yakin. Bahkan untuk orang sekelas Yohanes Pembabtis. Dari dalam penjara, Yohanes menyuruh murid-muridnya bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?”
Yesus menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.”
Jawabab Yesus ini unik karena tidak to the point. Mestinya Ia lebih enak jawab, “Iya, betul!” Atau, “Ya inilah Aku yang kamu nantikan!” Nah…kalau Yesus jawab seperti itu, artinya yang menjadi pusat perhatian adalah dirinya, bukan Allah Bapa. Jadinya Yesus sentris. Makanya ia menjawab “Orang buta melihat…dst…” yang menunjukkan sebuah karya, hasil sebuah tindakan. Memang benar, Yesus melakukan itu semua dan dengan demikian genaplah Nubuat Yesaya, tetapi semua dilakukan berkat kuasa Allah Bapa.
Yesus tidak ingin jatuh pada kesombongan pribadi atau keangkuhan rohani. Selain itu Ia juga ingin menunjukkan bahwa sebuah perbuatan menjadikan sebuah kata menjadi lebih bernilai. Sikap Yesus ini harus menjadi sikap kita juga. Sebagai muridNya kita dipanggil untuk mengikuti Dia tidak dengan sekadar kata-kata atau doa-doa saja tetapi disempurnakan dengan perbuatan nyata, perbuatan kasih. Kalau kita dipuji karena perbuatan kita itu, janganlah sombong karena Tuhanlah yang menggerakkan perbuatan kita itu.
Dari penjabaran di atas, saya pikir refleksi Minggu Gaudete kita ini sangat relevan dengan kehidupan saat ini. Dalam hidup rohani, Mesias yang kita nantikan sudah jelas yakni Tuhan Yesus yang kedatangannya disimbolkan dengan Hari Raya Natal. Mari kita nantikan kedatangannya dalam sukacita penuh harap, caranya adalah meneladan sikap Yesus sebagaimana tercermin dalam Matius 11: 2-11. Ia menginginkan kita yang berbuat sesuatu yang konkret tidak sekadar ucapan. Tidak perlu melakukan hal besar. Bunda Teresa memberi teladan yang patut kita contoh, “Dalam hidup ini kita tidak perlu melakukan hal-hal besar. Kita hanya perlu melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Bukan soal berapa banyak hal yang kita lakukan, melainkan berapa banyak cinta yang kita curahkan saat melakukan hal-hal itu. Bukan soal berapa banyak yang kita beri, melainkan seberapa banyak cinta yang kita curahkan dalam pemberian itu.”
Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat, kita dihadapkan pada situasi Pilkada yang akan dilakukan serentak di seluruh Indonesia. Para calon pemimpin daerah ini dalam artian tertentu adalah “mesias” atau dalam tulisan saya sebelumnya disebut “satria piningit.” Mereka saling “menjual diri” sebagai “mesias” yang dapat mengangkat kita ke era kemakmuran, keadilan, keamanan, dan kesejahteraan. Pertanyaannya bagi kita sama seperti yang ditanyakan oleh Yohanes Pemandi, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?”
Mereka, para calon pemimpin daerah, tentu akan menjawab bahwa merekalah si mesias yang telah lama dirindukan oleh rakyat. Tapi marilah kita jeli untuk melihat bahwa mesias sejati adalah bukan mereka yang menjual kata-kata kosong, tapi selalu membuktikan perkataannya dengan perbuatan nyata.


