210 tahun Gereja Jakarta, Ajakan Kembali pada Pancasila

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Tahun ini, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) memperingati hari jadinya ke-210 tahun. Hal ini menjadi tonggak dan momentum bagi seluruh umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta untuk memikul tanggung jawab sejarah, yakni turut berperan aktif dalam meneguhkan dan mengembangkan KAJ.

“Kita berusaha untuk merumuskan apa hakikatnya Keuskupan Agung Jakarta di tengah zaman ini,” kata Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta dalam homilinya di Perayaan Syukur 210 Tahun KAJ di Gereja Hati Kudus Kramat, Kamis, 25 Mei 2017.

Perayaan yang menghadirkan perwakilan Dewan Paroki Se-KAJ ini, Suharyo mengajak semua umat Katolik untuk kembali ke jati dirinya. Gereja pada dirinya sendiri adalah gerakan. “Seperti Yesus yang hatinya selalu tergerak oleh berbagai penderitaan umat manusia, maka kita sebagai bagian dari Gereja dipanggil untuk turut bergerak atas dasar cinta belas kasih Yesus kepada dunia.”

Contoh konkretnya adalah memasukkan Pancasila dalam arah dasar KAJ. Artinya, Pancasila menjadi dasar pada setiap kebijakan dan pewartaan atau dakwah yang disampaikan KAJ kepada seluruh umat Katolik, khususnya di wilayah KAJ. Menurut Suharyo, inilah cara kita menjawab tanggung jawab sejarah dalam rangka 210 tahun KAJ dan cara konkret menjadi saksi-saksi Injil.

Pada saat perayaan Ekaristi 210 Tahun KAJ, para pembawa persembahan diiringi oleh para penari yang menggambarkan keragaman budaya Indonesia
Pada saat perayaan Ekaristi 210 Tahun KAJ, para pembawa persembahan diiringi oleh para penari yang menggambarkan keragaman budaya Indonesia

Kenapa Pancasila? Suharyo menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai disepelekan. Ada banyak indikasi memperlihatkan bagaimana Pancasila ditinggalkan. Bahkan, dengan nada serius, Suharyo meyakini bahwa pada kasus tertentu bahkan Pancasila dengan sengaja dibuang. “Di sisi lain, muncul gerakan fundamentalisme, radikalisme, dan lainnya yang mau mengganti Pancasila.”

Pesan moral dan pengajaran yang diserukan Suharyo terasa sangat relevan dengan peristiwa serangan bom bunuh diri kemarin, Rabu malam, 24 Mei 2017. Bom yang meledak di Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur itu, mengakibatkan tiga orang anggota Polri gugur dan dua orang yang diduga pelaku tewas, serta ada 10 orang luka-luka.

Pelaku bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama dan Tuhan itu justru mengangkangi nilai-nilai keagamaan dan mengkianati kemanusiaan yang Tuhan sendiri memuliakannya. Inilah mengapa, dalam perayaan 210 tahun KAJ, Suharyo kembali mendorong seluruh umat Katolik untuk mengamalkan Pancasila.

Pada tahun 2016 lalu, KAJ mulai dengan pengamalan Pancasila Sila Pertama, yakni “Kerahiman Allah Memerdekakan,” yang sekaligus menjadi tema Pra-Paskah dan Paskah. Gereja menekankan bahwa Tuhan yang Mahaesa itu adalah Tuhan yang Maharahim, Tuhan yang Mahapengampun. Sebesar apapun dosa manusia, kalau dia menyatakan ketidakberdayaannya, maka orang tersebut akan diangkat-Nya. Manusia yang merdeka karena kerahiman Allah, menjadi semakin serupa dengan Allah dalam hal berbagi kehidupan, khususnya dalam mengampuni sesama yang berbuat salah kepadanya. Pengampunan dan kebesaran hati adalah salah satu wujud dari pengalaman sila pertama dalam hidup berbangsa dan bernegara yang majemuk ini.

Setelah sila pertama, tahun ini KAJ mengusung tema “Amalkan Pancasila: Makin Adil, Makin Beradab” dalam pekan suci Perayaan Paskah 2017. Setelah pada tahun 2016 menyadari diri sebagai pribadi yang merdeka berkat Kerahiman Allah, tahun ini kita diajak menjadi pribadi yang memiliki rasa adil dan beradab. Dasar ajakan itu adalah Allah telah lebih dulu dan selalu menunjukkan sikap adil dan beradab terhadap kita.

Perayaan Ekaristi 210 Tahun KAJ di Paroki Hati Kudus Yesus, Kramat Jakarta Pusat, Kamis, 25 Mei 2017. Ekaristi dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo bersama puluhan pastor dan diikuti ribuan umat.
Perayaan Ekaristi 210 Tahun KAJ di Paroki Hati Kudus Yesus, Kramat Jakarta Pusat, Kamis, 25 Mei 2017. Ekaristi dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo bersama puluhan pastor dan diikuti ribuan umat.

Adil di sini adalah berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran. Sedangkan beradab berarti berbudi bahasa baik dan maju hidup lahir batinnya. Orang yang beradab adalah pribadi yang menjunjung tinggi moralitas. Perjuangan untuk menjadi makin beradab wujudnya adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk hidup bersama.

Gambaran sempurna bersikap adil dan beradab adalah Pribadi Yesus sendiri yang karena sikapnya berpegang teguh pada keadilan, kebenaran dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusian membuat dirinya dimusuhi banyak orang. Tidak mudah bukan dalam mengamalkan sila kedua ini? Cobalah tengok apa yang diperjuangkan Ahok dan apa yang akhirnya dia terima dari komitmennya memperjuangan keadilan dan kemanusiaan warga Jakarta supaya lebih beradab?

Tema “Amalkan Pancasila: Makin Adil, Makin Beradab” mendapat tantangan nyata dalam mewujudnyatakannya dalam dua peristiwa besar di tahun ini, Pemilihan Gubernur Jakarta dan Bom Kampung Melayu. Marilah jadikan sila kedua ini sebagai pegangan kita untuk menjalin relasi dengan orang di luar diri kita dan di luar kelompok, serta mengembangkan kehidupan bersama yang saling menghargai.

Gereja Katolik Indonesia

Sekadar catatan kecil terkait 201 tahun KAJ, hal ini bermula dari 8 Mei 1807 saat Paus Pius VII menjadikan Batavia sebagai Prefek Apostolik dengan mengangkat Pastor Jacobus Nelissen sebagai Prefectus Apostolicus dan Pastor Lambertus Prinsen sebagai Misionaris. Perfektur Apostolik adalah bentuk otoritas rendah untuk suatu wilayah pelayanan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di sebuah daerah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan. Prefektur Apostolik dipimpin oleh seorang pastor dan bukan uskup.

Dalam perjalanan waktu, Prefektur Apostolik ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Batavia pada tanggal 3 April 1842 dengan Vikaris Apostolik pertamanya Mgr. I. Groff. Kemudian, sejak 3 Januari 1961 wilayah Vikariat Apostolik Jakarta mengalami ‘perubahan’ bentuk hierarki menjadi Keuskupan Agung Jakarta. Sampai di usia 210 tahun ini, Keuskupan Agung Jakarta telah memiliki 66 Paroki yang tersebar di Jakarta, Bekasi, dan sebagian Tangerang. Gereja tertua adalah Gereja Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga (Paroki Katedral). Sedangkan Gereja termuda atau Paroki ke-66 adalah Gereja Santo Ambrosius (Paroki Villa Melati Mas, Serpong).

Bagi saya, ringkasan sejarah KAJ ini bukan sekadar urut-urutan tanggal dan tahun. Tidak hanya angka 210 tahun yang tampak “wah.” Lebih dari itu, ada perjalanan spiritual yang membuat saya yakin bahwa KAJ telah mengalami transformasi keimanan.

Pada saat perayaan Ekaristi 210 Tahun KAJ, para pembawa persembahan menggunakan baju adat bangsa Indonesia. Bahkan ada persembahan berupa roti buaya yang menjadi ciri khas budaya Betawi.
Pada saat perayaan Ekaristi 210 Tahun KAJ, para pembawa persembahan menggunakan baju adat bangsa Indonesia. Bahkan ada persembahan berupa roti buaya yang menjadi ciri khas budaya Betawi.

Pada awal mula keberadaannya, saya sepakat kalau KAJ bisa disebut sebagai Gereja Katolik di Indonesia. Inilah periode di mana Gereja belum mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Umatnya pun sebagian besar adalah orang asing yang notabene adalah penjajah, mulai dari Portugis sampai Belanda. Maka jangan heran, banyak orang kala itu mengatakan bahwa Gereja adalah Agama Penjajah.

Namun dalam masa pergerakan kemerdekaan sampai sekarang, Gereja telah bertransformasi menjadi Gereja Katolik Indonesia. Di sinilah Gereja mulai menemukan jati dirinya sebagai pengikut Yesus Kristus yang menghidupi budaya Indonesia, bahkan ikut berjuang dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia,” kata Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (1896- 1963), Uskup Agung Semarang sekaligus Pahlawan Nasional (1963).

Gereja Katolik Indonesia ini pun terus bertransformasi sampai sekarang dan kali ini secara konkret KAJ mengajak seluruh umatnya untuk memperkuat ke-Indonesiaan-nya dengan kembali pada Pancasila dan mengamalkannya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Facebooktwitterby feather
wawan
Pribadi sederhana yang ingin terus belajar di bidang komunikasi. Dimulai dari menulis, fotografi, media relations, kadang-kadang menggambar, sampai mengadakan acara komunikasi seperti berbagai lomba dan pelatihan jurnalistik/ fotografi.
https://www.fransalchemist.com

Leave a Reply